NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

[LN] Menhera ga Aisai Epuron ni Kigae Tara - Volume 1 - Prologue [IND]

Translator: Yanz

Editor: Rion 

Prologue  


Pada musim semi tahun pertama SMP, aku punya pacar untuk pertama kalinya.

Jangka waktu kencan kami hanya sekitar satu setengah bulan.

Sekitar tujuh tahun telah berlalu sejak saat itu, tapi kenangan akan hari-hari yang aku habiskan bersamanya masih melekat jelas dalam benak ku. Bahkan jika aku berusaha, aku tetap tak bisa melupakannya dengan mudah.


Waktu itu,

Di gymnasium tempat diadakannya upacara masuk, aku jatuh cinta pada seorang gadis pada pandangan pertama.

Kulit putih dan wajahnya yang proporsional, disempurnakan oleh rambut hitam panjang yang mengkilap. Kacamata bingkai merah yang mencolok, serta kecerdasan yang tak biasa untuk seorang teman sekelas, semuanya terpancar dari dirinya.

Setelah beberapa waktu sejak awal semester, kelompok-kelompok pertemanan mulai terbentuk dengan alami di dalam kelas. 

Sebagian besar adalah teman-teman dari sekolah dasar, rekan-rekan klub, dan orang-orang di sekitar tempat duduk mereka sendiri. Karena aku juga bergabung dengan klub bola basket, aku menghabiskan waktu istirahat bersama anggota klub lainnya.


Tapi dia berbeda,

Dia tidak tergabung dalam klub apa pun, dan tidak terlihat berbicara dengan siapa pun di sekitarnya. Bahkan dia tidak memiliki hubungan dengan orang-orang yang bersekolah di sekolah dasar yang sama dengannya.

Dia bukan anggota kelompok mana pun, bahkan waktu istirahatnya hanya dihabiskan untuk membaca buku dalam diam.

Pada awal semester, ada beberapa orang yang mencoba untuk terlibat dengannya, tetapi tanggapan yang ia berikan tidak mengenakkan hingga seiring berjalannya waktu dia semakin terisolasi. 

Kupikir aku ingin dekat dengannya entah bagaimana, tapi dia selalu sendirian, jadi sulit untuk dekat dengannya, dan sebelum aku menyadarinya, persepsiku tentang dia telah berubah menjadi seperti bunga di atas bukit tinggi yang sulit dijangkau.

Aku tidak punya topik pembicaraan untuk berbicara dengannya, dan aku bahkan tak punya keberanian untuk memberi salam. Seiring berjalannya waktu, aku hanya bisa mengamatinya dengan mataku. 

Namun, suatu titik balik tak terduga terjadi dalam hidupku...


Setelah ujian tengah semester, kami mengadakan pengundian tempat duduk baru. Dengan keberuntungan tak terduga, aku mendapatkan tempat duduk tepat di sebelahnya. 

Namun, tetap saja.. jika aku tak bisa bicara padanya, tidak ada gunanya aku duduk di sebelahnya.


Setelah pindah meja dan kursi ke sampingnya, aku berusaha keras untuk mencari topik pembicaraan. Akibatnya, tanpa pengetahuan dan sensitivitas yang memadai, aku tanpa sadar menyentuh masalah yang sensitif baginya.

Tidak, lebih tepatnya, itu adalah hal yang mengejutkan bagiku pada saat itu sehingga aku tak bisa mengabaikannya dengan mudah.


“Luka itu... apa yang terjadi?!”

Aku melihat perubahan pada “pergelangan tangannya” dan membuka mulut sebelum aku bisa memikirkannya.

Ada banyak bekas luka diukir di pergelangan tangannya.

Dia memutar matanya pada pertanyaanku dan terkejut sesaat. Tepat setelah itu, entah kenapa dia tampak sedikit lega dan dengan lembut tersenyum, hampir meneteskan air mata.


Pemotongan pergelangan tangan, tindakan menyayat kulit dengan pisau, merupakan perilaku untuk menyakiti diri sendiri. 

Alasan di balik tindakan tersebut beragam, tetapi banyak yang melakukannya untuk mencari stabilitas emosional. 

Sepertinya gadis itu juga salah satu dari mereka, yang melukai dirinya sendiri untuk mencari ketenangan batin.

Setelah aku mengajukan pertanyaan, awalnya dia menjawab dengan singkat bahwa itu adalah luka yang dia buat sendiri. Namun, ketika aku bertanya lebih lanjut tentang alasan di baliknya, ekspresinya menjadi muram. 

Setelah beberapa detik keheningan, dia akhirnya menceritakan bahwa karena situasi rumahnya yang sulit, dia mulai melakukan tindakan melukai diri sendiri sebagai bentuk cara untuk melepaskan stres.

Saat aku dengan serius mendengarkan ceritanya seperti mendengarkan cerita diriku sendiri, aku sadar bahwa dalam beberapa menit, dia telah mulai membuka hatinya padaku. 

Karena kondisi lingkungan rumahnya yang buruk, dia merasa tidak bisa mempercayai orang lain dan merasa takut untuk berinteraksi dengan teman sekelasnya di dalam kelas. 

Sekarang, dia akhirnya melepaskan perasaannya yang terpendam, bahwa situasi kesendirian yang dia alami di rumah maupun di sekolah sangatlah menyakitkan.


Sejak hari itu, dia mulai aktif berbicara denganku.

Hari demi hari kami berbicara tentang ketidakpuasan dengan lingkungan keluarga, pertanyaan-pertanyaan yang dia miliki, serta hal-hal lain seperti pelajaran dan hobi. 

Percakapan kami semakin banyak setiap hari, dan jarak di antara kami hati dengan cepat menyusut.


Tak butuh waktu lama bagi kami untuk memulai hubungan.

Di kelas, kami selalu bersama saat ada aktivitas kelompok, bahkan selama waktu makan siang atau istirahat, kami terus berbincang.

Meskipun karena latihan basket, aku tidak punya waktu untuk berkencan dengannya bahkan pada hari Sabtu dan Minggu, apalagi sepulang sekolah, jadi aku selalu berusaha dekat dengannya di sekolah untuk menebus waktu kami.

Kami hidup dalam kebahagiaan yang manis layaknya remaja pada umumnya. Kini aku menyadari, seiring berjalannya waktu yang kami habiskan bersama, kami semakin bergantung satu sama lain.

Karena aku menghabiskan lebih banyak waktu dengannya, hubunganku dengan teman-teman lainnya berangsur-angsur menurun, dan meskipun aku merasa agak terasing, tidak terlalu menyakitkan karena dia ada di samping ku.

Namun ternyata, kebahagiaan yang berasal dari hubungan antarmanusia sangatlah rapuh secara tidak terduga, dan bisa saja berakhir tanpa ampun hanya karena sebab-sebab kecil. 

Suatu hari, ketika tidak ada latihan klub, kami menghabiskan waktu pertama kali untuk kencan di pusat perbelanjaan terdekat, tempat dia bisa mengumpulkan buku-buku seni favoritnya

Gaun one piece, kaus kaki setinggi lutut, dan sepatu dengan sol tebal yang dilengkapi pita—aku masih ingat penampilannya di tempat pertemuan, semuanya serba hitam.

Alih-alih kacamata berbingkai merah, dia memakai lensa kontak yang membuat mata hitamnya terlihat lebih besar, dan menambahkan sentuhan perona berwarna merah muda di bawah matanya.

Walaupun aku sedikit bingung dengan suasananya, yang sangat berbeda dari biasanya, tetapi lebih dari itu, aku sangat senang mengetahui sisi pribadinya. 

Untuk beberapa saat setelah kencan dimulai, aku benar-benar bahagia.

Kami menghabiskan waktu di toko buku, makan di area makan, berbicara ringan sambil berkeliling pusat perbelanjaan. 


-----Namun, di tengah perjalanan, terjadi sebuah peristiwa yang mengubah segalanya...

Ponselku bergetar karena ada panggilan masuk dari teman perempuan masa kecilku. Itu adalah panggilan yang datang tiba-tiba dan sangat mengagetkan. 

Melalui telepon itu, untuk pertama kalinya, aku menyaksikan sisi "khusus" dari kekasihku itu.

Di lorong pusat perbelanjaan, tiba-tiba dia mulai menangis dan berteriak. Dia mengetahui bahwa aku berhubungan dengan lawan jenis lainnya, dan dia menjadi kacau. 

Meski aku mencoba berbicara dengannya di tempat itu, suaraku sepertinya sulit didengar olehnya. Setelah waktu yang cukup lama, akhirnya dia mengerti, namun peristiwa ini meninggalkan retakan besar dalam hubungan kami.

Sejak kejadian itu, dia mulai mengikatku tanpa henti. Jika aku berbicara dengan gadis lain selain dia di dalam kelas, dia akan menangis dan berteriak tanpa memedulikan pandangan orang lain. 

Bahkan dalam situasi yang lebih buruk, dia dengan nekat mengambil cutter dari kotak pensilnya lalu meluncurkannya diantara pergelangan tangannya sendiri.

Seakan-akan merasa jijik, teman-teman sekelas menganggap bahwa dia menyeramkan. Lalu tatapan yang diarahkan pada kami berubah menjadi sesuatu yang lebih dingin dari sebelumnya.

Dia sepertinya tidak peduli dengan pandangan tersebut. Tapi, bagi diriku yang masih muda dan rentan secara emosional pada waktu itu, situasinya terlalu tak tertahankan.


Akhirnya pada suatu waktu, aku mencapai batas kekuatanku. 

Suatu hari setelah pelajaran berakhir, aku memanggilnya ke dalam kelas dan mengakhiri hubungan kami. 

Namun, dia menangis tanpa mengucapkan sepatah kata pun dan bahkan mencoba bunuh diri. Berkat campur tangan guru yang datang tepat waktu, kejadian terburuk berhasil dihindari, tetapi ingatan tentang hari itu terukir jelas dalam ingatanku.

Setelah itu, dia tidak pernah muncul di sekolah selama setengah tahun hingga akhir kelas satu SMP. 

Meskipun aku merasa bertanggung jawab dan khawatir tentang keadaannya yang tidak masuk sekolah. Tapi, sebagai seorang anak yang belum dewasa baik secara fisik maupun mental, aku tidak bisa melakukan banyak hal karena aku tak tahu dimana dia tinggal. Aku bahkan tak bisa menghubunginya.

Saat naik ke tahun kedua SMP, di hari pertama masuk, aku mencari namanya di daftar pembagian kelas di lorong, tetapi dia tidak ada. 

Saat bertanya kepada guru, aku hanya diberitahu satu kalimat, “dia sudah pindah sekolah.”


.....Nah, itulah kenangan pertamaku dengan pacarku. 

Setelah hari perpisahan itu, aku tidak pernah bertemu dengannya lagi, dan kurasa.. aku tidak merasa ingin bertemu dengannya lagi saat ini. 

Namun, ada satu hal yang pasti: 

Dia meninggalkan "bekas luka" yang abadi di hatiku.

Bekas luka itu adalah trauma terhadap "gadis dengan masalah mental" - atau yang lebih dikenal dengan istilah "Menhera" dalam bahasa Jepang. 

"Menhera" mengacu pada masalah kesehatan mental, di mana seseorang memiliki ketidakstabilan emosional atau masalah lain dalam pikiran mereka.


Aku pertama kali mendengar istilah "Menhera" dari obrolan di klub bola basket setelah aku putus dengan pacar ku.

Setelah mencari informasi lebih lanjut, aku menyadari bahwa perilaku dan karakteristiknya benar-benar cocok dengan istilah itu. Dan tanpa aku sadari, ternyata aku pernah menjalin hubungan dengan seorang gadis "Menhera" sebelumnya.

Sensasi berat, merepotkan, dan kurang sesuai untuk berhubungan - kesan negatif ini melimpah ruah dari masyarakat. 

Namun, pada saat itu, trauma ini masih dalam taraf yang cukup ringan, dan aku hanya merasa agak tidak nyaman saja. 


Di tahun terakhir SMP, aku akhirnya mendapatkan pacar lagi.

Dia punya kepribadian yang cerah, memiliki banyak teman, dan merupakan siswa teladan yang tidak mempunyai rumor buruk.

Kami menjadi lebih dekat ketika kami berada dalam komite yang sama. 

Dia datang kepadaku dengan masalah cinta karena memiliki perasaan kepada seseorang di klub bola basket, dan seiring berjalannya waktu, perasaannya kepadaku juga ikut berkembang, dan kamipun mulai berpacaran.

Namun, hubungan itu hanya bertahan selama tiga minggu. 

Pada hari rencana kencan kami, aku harus mengikuti pertandingan bola basket yang tiba-tiba muncul dan memprioritaskan klub olahraga itu. 

Karena hal tersebut, dia mendadak mengalami histeria, sehingga aku memutuskan untuk berpisah dengannya.


Terakhir kali aku punya pacar adalah di tahun pertama SMA.

Dia bekerja paruh waktu di sebuah toko pakaian.  

Saat berkonsultasi tentang hubungan di tempat kerjanya, hubungan kami semakin dalam dan berkembang menjadi sebuah hubungan romantis antara pria dan wanita.

Setelah dia mengintip isi ponselku tanpa izin dan menghapus semua kontak dari lawan jenis, aku merasakan rasa takut yang tak terhingga. 

Akhirnya, aku memutuskan hubungan dengannya karena merasa takut, dan memutuskan melarikan diri dari situasi tersebut.


Trauma ringan yang kualami terhadap "Gadis Menhera" semakin membesar setiap kali aku mengalami putus cinta. 

Setelah berpisah dengan pacarku yang ketiga, perasaan jijik semakin tumbuh hingga menjadi tidak tertahankan.

Sementara itu, aku semakin berkembang menjadi orang yang memiliki prasangka tertentu. 

Dari ketiga pacarku yang memiliki masalah mental, ada dua ciri umum yang mereka miliki: 

"gaya berpakaian yang mencolok" dan "bekas luka akibat sayatan di pergelangan tangan".

Terdapat beberapa orang yang dengan sengaja mengadopsi gaya berpakaian mencolok sebagai suatu kegembiraan, dan ada juga yang mencoba menyayat tangan dengan spontan atau karena emosi rentan dimasa muda.

 Sekalipun aku tahu ciri-ciri tersebut, aku tidak boleh menilai bahwa orang tersebut adalah seorang "Menhera". 

...Namun, sekali prasangka itu tertanam, sulit untuk menghilangkannya.


Akibat prasangka ini, aku mulai merasa tidak nyaman saat berhadapan dengan seseorang yang memiliki ciri-ciri serupa. 

Saat melihat seseorang dengan ciri-ciri tersebut, aku dengan sengaja menjaga jarak dan berusaha menghindari mereka sepenuhnya. 

Namun, kenyataannya adalah, orang yang tidak memiliki ciri-ciri tersebut juga dapat menjadi "Menhera".


Setelah kencan terakhir di tahun pertama SMA ku, aku menjadi pasif tentang hubungan asmara. Hingga lambat laun aku mulai menghindarinya, bahkan hubungan dengan gadis yang tidak memiliki karakteristik apa pun.

Bahkan jika aku bisa berkencan dengan seseorang, aku takut hasil yang sama akan terjadi lagi.

Teman masa kecilku yang tahu situasi ini secara rinci mengatakan bahwa aku terlalu mudah untuk menerima konsultasi dan curhat yang pada akhirnya menjerat mereka dalam ketergantungan yang berlebihan.

Memang benar bahwa aku adalah tipe orang yang tidak bisa mengatakan tidak ketika dimintai bantuan, serta selalu ingin memberikan bantuan untuk menyelesaikan masalah lawan bicaraku.


Namun, ini bukanlah sifat yang sepenuhnya buruk, meskipun sulit untuk diubah.

Kemungkinan melewati trauma dan memiliki hubungan masa depan, entah itu berpacaran dengan seseorang, rasanya sulit untuk aku bayangkan. 


Hingga sekarang, sebagai mahasiswa tahun kedua di universitas, aku masih terbelenggu oleh trauma masa laluku....



0

Post a Comment