NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

[LN] Menhera ga Aisai Epuron ni Kigae Tara - Volume 1 - Chapter 1.4 [IND]

 


Translator: Yanz

Editor: Rion

Chapter 1 - Jika Kau Bertemu Dengan Gadis Menhera (part 4)



 Aku mengernyitkan dahi karena pertanyaannya tampak berbeda dari apa yang aku perkirakan.

Aku mengira dia akan bertanya pertanyaan yang sangat penting sebelum dia berbicara, mengingat dia tampaknya memiliki sesuatu yang ingin dia katakan sebelumnya. 

Tapi sepertinya ini hanyalah pertanyaan yang tidak begitu penting. Namun, meskipun begitu...

"Tidak, tunggu sebentar! Pertanyaan ini sebenarnya tidak masuk akal bukan!?"

"Tenang saja. Kita mungkin akan menjadi teman yang sangat dekat nantinya."

"Apa maksudmu, itu..."

Aku sebenarnya ingin memutus hubungan dengan Kotosaka hari ini. Terlebih lagi, kenapa dia tiba-tiba mengajukan pertanyaan seperti ini? 

Dan dalam posisinya sekarang, seharusnya ada masalah yang jauh lebih penting daripada mengungkap identitasku.


"Kamu mengatur pertemuan ini dengan maksud untuk menutup mulutku, bukan?"

"Maksudnya... menutup mulut?"

"Jadi... Kotosaka biasanya menghasilkan uang dengan melakukan aktivitas Sugar Dating, benar? Bukannya kamu datang ke sini untuk mengancamku agar aku tidak menceritakan kepada orang lain?"

"Aku tak pernah berpikiran seperti itu sejak awal."

Dia dengan tegas mengatakan hal itu dengan ekspresi datar.

"Bagiku, Sugar Dating hanya seperti pekerjaan paruh waktu mu di minimarket ini. Aku tidak punya teman, dan aku tidak peduli dengan reputasi dari orang lain. Mengancam untuk membuatmu tetap diam tidak ada gunanya bagiku."

"Kalau gosipnya menyebar, mungkin akan berdampak pada kehidupan kuliahmu, tahu?"

"Jika itu terjadi, aku akan menghadapinya nanti. Lagipula, bahkan saat ini aku menghadiri kuliah hanya karena aku tidak mau berlama-lama tinggal dirumah."

"Kamu cukup tak kenal takut ya..."

"Jika ancaman itu menurutmu efektif, apa kamu berencana memberikan perintah yang tidak pantas untukku? Seperti, 'Jika kamu tidak ingin rahasia ini terbongkar, lepaskan bajumu dan berlututlah didepanku' atau sesuatu semacam itu, seperti apa yang ada dalam manga dewasa?"

"Tidak akan! kondisi keji seperti itu tidak akan pernah terlintas dalam pikiranku!"

"Kamu cukup berhati nurani, ya?"

"Itu normal kan?"

"Tidak, aku pikir itu baik, sangat baik...."

Seolah-olah dia sedang membandingkan diriku dengan seseorang tertentu, dia berbicara dengan suara pelan.

"Kalau begitu izinkan aku bertanya kepadamu, jika kamu 'mengancam' aku, syarat pertukaran macam apa yang akan kamu berikan?"

"Apa-apaan pertanyaanmu itu...?"

Sambil melihat langit malam yang berbintang, aku berpikir sejenak.

"Jangan pernah lagi melakukan pekerjaan itu, jika kamu memang tidak mau rahasia ini terbongkar... yah, mungkin begitulah."

Jawabanku membuat Kotosaka terkejut, dia tampak tercengang.

"Apa kamu benar-benar terkejut? Itu cukup wajar bukan.?"

"Pria biasanya memiliki permintaan yang lebih cabul, menurutku...."

"Kamu punya stereotip yang cukup kuat, ya!"

Tetapi mungkin, dari sudut pandang Kotosaka, hal itu tidak bisa dihindari.

Jika dia sering terlibat dalam aktivitas Sugar Dating, dia mungkin sering menghadapi permintaan tak senonoh yang jelas dari seorang pria. 

Jadi, tak mengherankan jika dia memiliki prasangka buruk terhadap para pria.


"Ingatlah. Aku tidak akan pernah membuat tuntutan yang tidak pantas semacam itu."

"Itu... sangat baik hati sekali.... Apa itu kekuatan mu?"

Caranya menggunakan ungkapan cukup unik dalam hal ini.

"Tapi, ini bukan soal hal itu. Sekarang, tolong beri tahu aku tentang hobi, asal-usul, dan apakah kamu tinggal sendiri untuk saat ini."

Kotosaka memaksakan kembali percakapan yang sempat teralihkan.

Sepertinya dia tidak akan melanjutkan percakapan kecuali aku menjawab pertanyaannya. 

"Haa... hobiku adalah menggambar ilustrasi." 

"Oh, ilustrasi ya."

"Ada masalah?"

"Tidak, itu adalah hobi yang bagus, menurutku." 

Saat aku menyebutkan ketertarikanku pada menggambar ilustrasi, terkadang aku diejek. Namun, Kotosaka sepertinya memandang hobiku dengan baik, dia mengangguk lembut beberapa kali.

"...Dan tempat asalku di Saitama. Sekarang aku tinggal sendiri."

"Apakah itu dekat dari sini?"

"Yah, relatif dekat."

Kotosaka menempelkan jari ke bibirnya, memikirkan sesuatu dengan serius.

"...Kalau begitu,"

Dia kembali naik ke sadel sepeda dan mengetuk ringan jok belakang sepedanya.

"Karena kita tidak bisa berbicara di sini terlalu lama, mari kita pergi sekarang."

"Pergi? Ke mana? Restoran atau apa?"

"Kalau ke restoran, akan terlalu mahal. Jadi, kita pulang saja ke rumah."

"Pulang.... kerumah...? Kamu berbicara tentang rumah siapa, sebenarnya?"

"Tentu saja, rumahmu."

"Tidak, itu pasti tidak akan terjadi!"

Aku tidak ingin membawa seorang wanita yang baru saja aku kenal hari ini ke dalam apartemenku dengan begitu mudah. Tetapi sebaliknya, aku juga tidak ingin pergi ke rumah Kotosaka.

"Kenapa kamu tidak mau membawaku kesana?"

"Itu pertanyaan bodoh, aku tidak akan membawamu!"

"Tidak masalah. Dari yang aku lihat, kamu sepertinya berjalan kaki saat bekerja, jadi bahkan jika kamu mencoba melarikan diri, dengan sepeda ini, aku bisa mengikutimu kemanapun tanpa kehilangan jejak."

"Kenapa juga aku harus melarikan diri darimu?!"

"Yah, tidak ada cara lain, ini semua sudah dimulai sejak kamu mulai berbicara denganku."

Dilihat dari perkataan dan tindakan Kotosaka selama ini, rasa-rasanya dia sudah pasti akan terus-menerus mengikuti sampai ke apartemenku, jika aku tidak membawanya kesana.

"Jadi, kenapa kamu tidak berhenti berpikir lalu cepat saja duduk di jok belakang? Aku masih menunggumu."

"Jadi, kamu tidak akan naik ke bagasi?"

Ini adalah pilihan antara mencoba melarikan diri dengan berjalan kaki atau pulang bersama Kotosaka. Setelah berpikir beberapa detik, aku memilih opsi yang akan memberikan hasil yang lebih baik bagiku.

"...Apa kamu tidak takut dihentikan oleh polisi? Jika mereka melihat kita berboncengan, kemungkinan besar mereka akan memeriksa kita, bukan?"

"Kalau itu terjadi, aku akan menggayuh sekuat tenaga dan menghindarinya."

"Apa-apaan pemikiran yang seperti pembalap jalanan itu..."

Dalam kedua pilihan sebelumnya, jika dia memang berniat untuk mengikutiku sampai ke apartemen, mungkin memang lebih baik jika aku pergi bersamanya dengan tenang.

Aku mendekati sepeda Kotosaka dan melihat jok belakang serta punggungnya dengan tajam.

Menumpang di belakang seorang gadis dengan gaya fashion yang unik cukup membuat aku ragu.


"...Hei, bagaimana kalau aku yang mengemudikan sepeda ini, dan kamu naik di belakang?"

"Dengan sangat aku akan menolak tawaran itu. Aku khawatir kalau itu akan membuat rokku kusut. Atau... apa kamu tiba-tiba punya hasrat aneh untuk merasakan bagaimana rasanya dipeluk sambil mengendari sepeda dengan cara sensual sambil merasakan tekanan dadaku dari belakang?"

"Jangan membuat kata-kata aneh! Lagipula apa itu 'mengendarai sepeda dengan cara sensual'?"

Aku menggaruk kepala, berteriak "Ah, lupakan saja!", lalu dengan ekspresi frustasi, aku naik ke jok belakang sepeda.

"Tolong arahkan aku, ya. Dan, bisakah kamu lebih dekat lagi? Agar lebih aman, kamu bisa memegang erat dari belakang."

"O-oke..."

Aku memeluk pinggang ramping Kotosaka dengan erat, menjaga agar dia tetap stabil.

"Aku merasakan sensasi kotor dan kehangatan aneh di dekat tulang ekorku."

"Itu hanya perasaanmu. Cepatlah... kita mungkin ketahuan oleh seseorang yang bekerja shift malam."

Dengan mendorong pedal, sepeda mulai melaju di sepanjang jalan pedesaan yang sunyi di Tokyo.

"Oh ya, ngomong-ngomong..."

Saat kami baru saja mulai bersepeda, aku tiba-tiba teringat sesuatu yang penting.


"Aku bahkan tidak tahu nama depanmu, tahu?"

"Kotone."

"Apa kamu benar-benar menggunakan nama asli untuk aktivitas Sugar Dating itu...?"

"Cuman bercanda. Itu hanya nama samaran, seperti nama pena."

"Berhentilah bercanda. Tolong, beri tahu aku nama lengkapmu yang sebenarnya."

Meski agak dipaksakan, dialah gadis pertama yang akan datang ke apartemenku.

Aku mungkin tidak tahu banyak tentang identitasnya, tetapi setidaknya aku harus tahu nama depannya.

Kotosaka menjawab sambil mengayuh pedal dan berbicara dengan suara pelan, yang hampir terhalang oleh suara angin.

---Shizune Kotosaka 

Itulah nama aslinya.


--- ☆ ---


Tanpa terjadi kecelakaan atau ditemukan oleh polisi saat naik berdua, aku dan Kotosaka berhasil sampai dengan selamat di apartemen. 

Setelah kami meletakkan sepeda di tempat parkir, aku membawanya ke dalam ruanganku.


"Ini cukup dekat. Hanya membutuhkan lima menit..." 

"Karena kita naik sepeda. Jika berjalan kaki, akan memakan waktu lima belas menit untuk sampai."

"Universitas dan stasiun sangat dekat dari sini, dan interior juga bagus. Apa Orang tuamu yang membayar sewanya?"

"Ya." 

"Orangtuamu benar-benar baik." 

"Biasa saja, sih... Kita sudah sampai. Aku akan membuka pintu, kamu tunggu sebentar." ucapku sambil berhenti di depan pintu apartemen. 

Setelah membuka pintu, aku memeriksa sekitar sekali lagi sebelum dengan tergesa-gesa membawa Kotosaka masuk ke dalam ruangan.

Dari cerita yang aku dengar dari Hirofumi, sepertinya ada beberapa mahasiswa dari universitas yang tinggal di apartemen ini. 

Meskipun aku tidak tahu di mana tepatnya mereka tinggal, Kotosaka cukup terkenal di dalam universitas, dan jika seseorang melihatnya, itu bisa menjadi masalah. Sebagai akibatnya, kewaspadaanku meningkat dengan sendirinya.

Segera setelah Kotosaka memasuki ruangan, aku menutup pintu dengan cepat, dan menghela nafas lega.


"Ini rumah seorang pria yang tinggal sendirian, jadi jangan terlalu peduli dengan kebersihannya, oke?"

"Tapi melihat dari sini, sepertinya kamu sudah merapikannya dengan cukup baik."

"Aku hanya merapikan sedikit. Jika terlalu berantakan, aku bahkan tidak akan membiarkan teman-temanku masuk kedalam."

"Teman... maksudmu, wanita?"

"Aku belum pernah membawa wanita lain ke dalam tempat ini selain dari keluarga dan... kamu juga, tentunya."

"Artinya, aku merampas 'keperawanan kamar'mu. Terima kasih atas keramah-tamahannya."

"Jangan membuatnya terdengar cabul."

"Kata 'perawan' sebenarnya bukan kata yang cabul, kan? Selain itu, kadang-kadang kita menggunakan istilah-istilah tersendiri untuk kali pertama, misalnya 'debut' yang digunakan untuk buku pertama yang diterbitkan."

"Jika kamu mengatakannya begitu..."

"Dan, jangan memanggil 'Kotosaka', panggil aku 'Shizune'. Aku tidak suka dipanggil dengan nama keluarga."

"...Shizune, ya."

Memanggil perempuan selain Chitose dan adik perempuanku dengan nama depan mereka sepertinya adalah sesuatu yang belum pernah kulakukan sejak tahun pertamaku di SMA. Meski hanya memanggil dengan nama depan, tetap saja terasa tidak nyaman.

"Baiklah, mari masuk."

Saat aku mulai memanggilnya seperti itu, aku merasa malu, dan wajahku mulai memanas. Mencoba menyembunyikan rasa maluku, aku segera melepas sepatuku, memalingkan wajah dari Kotosaka—atau lebih tepatnya, dari Shizune—dan buru-buru berjalan ke lorong apartemen.

Tanpa tahu apa yang ada dalam pikiranku, Shizune mengucapkan, "Maaf, mengganggu." sebelum ikut masuk ke lorong.

Di lorong, terdapat dua pintu yang mengarah ke kamar mandi dan toilet, serta lemari pakaian. Shizune berdiri di belakangku dengan erat, lalu melanjutkan ke dalam.

Pintu yang terletak di seberang pintu masuk, adalah ruang tamu di dalam apartemen ini. Aku dan Shizune saling bertatap muka sejenak sebelum akhirnya membukanya.


"...Ini cukup luas."

Shizune mengamati keseluruhan ruang tamu dan berbicara dengan lembut setelah beberapa saat.

"Ada banyak bumbu dan peralatan makan di dapur. Apa kamu selalu memasak sendiri?"


"Jika aku makan bento di minimarket atau makan di luar sepanjang waktu, aku sudah pasti menghabiskan banyak uang hanya untuk biaya makan. Selain itu, memasak sendiri lebih sehat."

"Keren. Kamu terlihat sepertinya bukan mahasiswa biasa yang tinggal sendiri."

"Tidak juga. Aku mencoba memasak sendiri sebisa mungkin, tapi kalau waktu terbatas, aku juga sering mengandalkan makanan beku atau mie instan."

"Pekerjaan rumah, memang susah ya?"

"Memang cukup merepotkan sih. Terkadang aku bahkan ingin punya bantuan ekstra."

"Mungkin kamu bisa mencoba memelihara kucing?"

"Kucing? Ehm.. Mungkin bukan ide yang buruk...."

"Tapi sebaliknya, itu hanya akan menambah pekerjaan rumah yang harus kamu lakukan, tahu?"

"Aku menanggapimu dengan serius tapi kamu menjawab seperti ini?!"

Sayangnya, kebaikanku sepenuhnya diabaikan.

"Yah, bagaimanapun juga, silakan duduk dulu. Aku akan menyiapkan minuman. Mau minum apa? Teh gandum, kopi kaleng, atau jika kamu suka, aku juga bisa membuat kopi panas untukmu."

"Berikan dua cangkir kopi panas."

"Apakah kamu benar-benar butuh dua cangkir?"

"Satu untukmu, satu untukku."

"Aku bisa memilih sendiri minumanmu, tahu."

"Aku khawatir akan merepotkanmu jika kita memilih sesuatu yang berbeda."

Kenapa dia begitu perhatian? Yah baiklah, lagipula tidak masalah bagiku untuk minum kopi panas juga.

Aku masuk ke dapur dan mulai menyiapkan air panas.

"Jadi, Shizune, kenapa kamu memaksa datang ke apartemenku dengan tiba-tiba?"

"Karena aku tahu kamu tinggal sendirian."

"Apa masalahnya jika aku tinggal sendirian?"

"Kamu bisa berbicara tanpa khawatir ada orang lain yang mendengar, seperti sekarang ini." 

"Ya, memang benar..." 

Kata-kata Shizune tampaknya memiliki makna tersirat, tetapi aku memutuskan untuk mendengarkannya sambil minum kopi.

Aku menuangkan air panas yang telah kubuat ke dalam cangkir, mencampurkan bubuk kopi secara kasar dengan sendok. Setelah selesai, aku meletakkan keduanya di atas nampan dan membawanya ke tengah ruang tamu.


"Kamu... Apa yang kamu lakukan dengan menyelinap kesana kemari seperti itu?"

"Aku tidak menyelinap ke sana kemari, aku hanya menjelajahi ruanganmu. Tidak ada yang salah, kan?"

"Jangan sembarangan menjelajahi apartemen seorang pria!"

Di atas meja kerja yang ditempatkan di salah satu sudut ruangan, terdapat komputer desktop, tablet layar sentuh, berbagai dokumen dan koleksi ilustrasi, serta buku sketsa yang sedang dikerjakan.

"Ini ilustrasi yang kamu buat? Bagus sekali, aku kagum." kata Shizune sambil memeriksa buku sketsa dengan seksama.

"Masih jauh dari kata baik, sebenarnya," aku menolak pendapatnya dengan meletakkan nampan di atas meja rendah.

"Kalau begitu izinkan aku bertanya sebaliknya, menurutmu apa yang perlu diperbaiki?"

"Ilustrasi karakter ini, komposisinya agak kurang bagus... Dan tentang buku sketsa ini, aku benar-benar tidak bisa menggambar pemandangan."

"Bisakah aku melihatnya sedikit?"

Setelah mendapatkan persetujuanku, Shizune mengambil buku sketsa itu. Dia menggulung halaman dengan hati-hati, dan memeriksanya satu per satu.


"Sebelum mulai menggambar, cobalah untuk lebih memperhatikan tiga dimensi dan penempatan cahaya. Pencahayaan mempengaruhi bayangan juga. Selain itu, cobalah mengubah sudut gambar bangunan, itu akan membuatnya lebih baik. Kamu bisa mempelajari komposisi dengan melihat foto pemandangan atau katalog latar belakang untuk komik."

Kemudian, dia bertanya, "Boleh aku mencoba satu halaman?" Setelah aku setuju, dia mengambil pensil yang ada di meja dan mulai menggambar sambil memberikan pengajaran.

"Ini adalah contohnya. Biasanya aku menggambar digital, tetapi jika kamu menggambar secara analog, lebih baik menggunakan pensil. Pensil lebih baik untuk menggambar garis."

"Kamu cukup... pandai, apa kamu juga suka menggambar?" 

"Aku sesekali mencobanya, bisa dibilang aku tertarik padanya."

Aku tidak berpikir levelnya bisa disebut hanya sekedar mencoba-coba.

"Apa jenis gambar yang biasanya kamu gambar?" 

"Sama seperti yang kamu sukai." 

Shizune mengambil smartphone dari saku dan menunjukkan satu gambar padaku. 

Gambar digital tersebut menampilkan dua remaja, satu laki-laki dengan rambut hitam dan kacamata, dan satunya lagi wanita dengan rambut pirang dengan penampilan yang cukup nakal. Mereka berjalan berdampingan dengan senyum persahabatan di wajah mereka.

Latar belakang gambar tersebut adalah sebuah jalan disaat senja, dengan bangunan dan lampu lalu lintas yang digambarkan dengan detail. Baik dari segi komposisi, desain karakter, warna, maupun penggunaan bayangan, dedikasi Shizune terhadap ilustrasinya terpancar jelas.


"Apa kamu pernah mengambil pelajaran untuk menggambar seperti ini...?"

"Aku tidak pernah. Tapi mungkin ada pengaruh dari orangtuaku." 

"Apa orangtua kamu bekerja di bidang seni?"

"Ibuku adalah seorang mangaka. Meskipun aku tidak tahu apakah itu termasuk dalam seni."

"Kamu serius?" Aku tidak bisa menyembunyikan kegembiraanku mendengar jawaban yang tak terduga dari Shizune.

"Ya, beberapa tahun yang lalu. Tapi dia tidak mendapatkan kesuksesan besar, dan sekarang dia menjadi guru seni di sekolah menengah."

"Oh... begitu." 

Aku merasa sedikit kecewa ketika memikirkan masa depanku sendiri. Meskipun ilustrator dan mangaka adalah dua hal yang berbeda, keduanya berbagi kemiripan dalam menghasilkan uang dari seni. 

Aku mulai merasakan betapa sulitnya perjuangan dalam dunia ini.


"Apakah kamu ingin menjadi ilustrator?" 

"Ya." 

"Bagus. Setidaknya kamu punya impian. Aku iri... Jika itu aku, aku pasti sudah menyerah sejak lama..." 

"Kamu mengambil jurusan apa di universitas?" 

"Pendidikan. Aku pernah punya mimpi untuk menjadi guru sekolah dasar."

"Guru sekolah dasar, ya..." Aku merenung sejenak tentang masa depanku sendiri dan merasa agak terpukul.

"Tapi, jika kamu sudah masuk ke universitas dengan susah payah, mengapa kamu menyerah pada mimpimu?... Apa kamu gagal mendapatkan kredit atau sesuatu?"

"Aku mendapatkan kredit dengan baik. Tapi itu adalah keputusan yang sudah ditentukan sebelumnya."

"Jadi begitu..."

"Tapi kamu harus tetap berjuang. Aku akan mendukungmu."

Shizune tiba-tiba membuat senyum kecil, ekspresimya yang tiba-tiba membuat hatiku berdebar.

"Aku sudah menunggu cukup lama, mari kita minum kopi sekarang." 

"Oh, ya... kamu benar." 

Kami duduk berhadapan di seberang meja rendah, dan Shizune mengambil cangkir kopi.


"Kamu tidak makan malam setelah bekerja paruh waktu?"

"Aku akan makan setelah kamu pulang. Besok pun aku baru pergi ke universitas untuk jam kedua, jadi tidak apa-apa jika tidur agak malam." 

"Sebenarnya kamu bisa makan tanpa khawatir, tahu..." 

Shizune menyeruput kopi perlahan-lahan dan menghela nafas. Sambil mengayunkan cangkirnya dengan gerakan melingkar, dia akhirnya menatapku dengan tenang.


"Lalu, bagaimana caranya kamu tahu bahwa aku melakukan aktivitas 'Sugar Dating' sewaktu di minimarket?" 

Jadi, dia mulai masuk ke topik ini...

"Daripada menganggap bahwa aku mengetahuinya, sebenarnya... Ini terjadi secara tidak sengaja, saat Hirofumi menemukan postinganmu di Twitter. Awalnya aku hanya melihat sebagai 'seorang gadis SMA yang mirip.' tapi siapa sangka, ternyata gadis itu adalah kamu sendiri. Yah, ini semua murni hanya kebetulan."

Situasi seperti ini benar-benar tidak terduga. Bahkan sampai kemarin, aku tidak pernah membayangkan hal ini. Rasanya masih sulit dipercaya, hampir seperti mimpi yang membuatku ingin segera bangun.

Aku memperhatikan pakaian Shizune dan mengingat pertemuan pertama kami di minimarket.

"Aku selalu penasaran, Shizune, apakah kamu benar-benar melakukan 'Sugar Dating' sebagai seorang siswi SMA? Apa ada alasan khusus untuk berpura-pura menjadi remaja?"

"Ah... Itu hanya karena para 'Sugar Daddy' lebih tertarik padaku seperti itu. Perbedaan beberapa tahun dan jenis sekolah yang berbeda antara remaja dan mahasiswa memiliki dampak besar pada minat mereka, tahu."

"Jadi, apakah kamu juga mengubah warna rambutmu untuk alasan yang sama?"

"Tepat sekali. Aku mewarnai rambutku hanya pada hari-hari diamana aku akan melakukan 'Sugar Dating' untuk menciptakan penampilan gadis polos. Bagi mereka, kesan yang sederhana lebih diminati."

Shizune mengelus lembut pakaian yang dia kenakan, pakaian.... yang sering dipakai oleh gadis-gadis menhera...

"Orang dewasa ingin diberikan perasaan nyaman oleh seseorang yang muda dan polos karena mereka merasa lelah, tahu?"

"Tapi... Saat kita pertama kali bertemu di minimarket, kamu mengenakan seragam sekolah. Dan bahkan hari ini, sepertinya kamu juga punya rencana. Jadi, kenapa kamu tetap bertahan dengan warna rambut putih?" 

"Hanya kebetulan. Pagi ini, aku tidak bisa menggunakan semprotan hitam, jadi aku datang ke universitas dengan rambut putih. Tapi pada akhirnya, aku membatalkan rencananya."

"Apa karena kamu tidak bisa mewarnai rambutmu?"

"Bagaimana mungkin? Aku sudah pasti akan mendapat uang saku jika aku pergi, jadi tidak ada alasan untuk membatalkannya."

"Hee, lalu, mengapa...?" 

"Karena aku bertemu denganmu... mungkin~" 

Shizune memerahkan pipinya dan tersenyum lembut. Alasan yang tak terduga ini membuat jantungku berdebar sejenak.

"Aku mulai merasa kopi ini menjadi dingin. Mari kita minum sekarang," 

"Oh, ya, kamu benar." Kami duduk di seberang meja rendah, dan Shizune mengangkat cangkir kopinya.

"Tapi setelah bekerja paruh waktu, apa kamu benar-benar tidak ingin makan malam? Jika mau, aku bisa membantumu..."

"Aku tidak mengerti apa yang kamu maksud." 

"Aku hanya berpikir, mungkin saja kamu mau menerimaku..." Shizune menjawab.

"Pemikiran tidak masuk akal macam apa itu?

"Tapi kamu bahkan mengizinkan aku masuk ke dalam apartemen mu." 

"Well, itu benar juga..." Shizune mungkin benar dalam hal ini, meskipun aku tidak berniat menerimanya.

"Lalu, kamu tadi terlihat khawatir. Lihatlah wajahmu " kata Shizune sambil menggenggam jemarinya sendiri.

"Lalu, kamu jelas-jelas mengkhawatirkanku, seperti saat kamu melihat jari-jariku."

"Aku tidak merasa khawatir..."

"Itu tertulis di seluruh wajahmu, baik tadi maupun sekarang."

Aku merasa wajahku memanas ketika Shizune dengan lembut menggenggam jemarinya.


"Sejak kapan kamu mulai melakukan 'Sugar Dating'?"

"Sejak liburan musim semi sebelum naik ke tahun kedua." 

Jadi, Shizune sudah berkecimpung dalam aktivitas ini selama sekitar empat atau lima bulan. Karena dia tampak sangat terbiasa, aku pikir dia telah melakukannya lebih lama.

"Berapa banyak orang yang telah kamu temui selama ini?" 

"Aku tidak menghitungnya. Selama liburan musim semi, aku cukup sibuk. Setelah kelas dimulai, aku biasanya bertemu dua orang setiap minggu, pada hari Selasa dan akhir pekan."

Mengingat obrolanku dengan Hirofumi, aku akhirnya mengerti. Alasan kenapa Shizune hadir dengan rambut hitam sampai kelas etika terakhir adalah karena dia punya rencana setiap hari selasa.

Tapi itu tidak penting sekarang.

Bertemu dengan dua orang setiap minggunya... Aku tidak tahu bagaimana cara orang lain melakukan aktivitas ini, tapi dari sudut pandangku, frekuensi ini masihlah cukup tinggi.

"Yang lebih penting adalah, mengapa kamu melakukan 'Sugar Dating'?" 

"Karena... aku butuh uang." 

"Tapi itu bukan alasan cukup kuat untuk melakukan ini dengan cara seperti itu. Meskipun jumlahnya lebih sedikit, ada cara lain yang lebih aman untuk menghasilkan uang. Di masa depan, jika kamu mengingat kembali keputusan ini—"

"Aku tahu tentang pilihan itu!"

Shizune tiba-tiba berteriak keras, membuat tubuhku terlonjak.

"Jika aku mengambil jalan lambat untuk mengumpulkan uang... Itu pasti memakan banyak waktu sampai aku bisa meninggalkan rumah itu."

"Kamu tahu, aku bertanya karena aku peduli padamu..." 

"Kamu tidak akan bisa mengerti." 

Kurasa aku mulai memahami mengapa Shizune melakukan ini. Tampaknya dia memang memerlukan uang dengan cepat.

Aku menjaga mulutku rapat-rapat dan mendengarkan kata-katanya dengan penuh perhatian.


"Aku tidak ingin tinggal di rumah itu... aku tidak ingin pulang ke rumah itu. Aku ingin segera dibebaskan dari rumah itu, bahkan hanya untuk satu hari, setengah hari, atau bahkan satu menit pun..." 

Nafasnya yang tadinya tenang kini mulai tidak menentu. Shizune mengepalkan tangannya, seolah-olah memeras kata-katanya.

"...saat aku tidak melakukan 'Sugar Dating', aku akan menghabiskan waktu untuk berada di universitas. Aku berada di sana agar bisa menghindari pulang ke rumah. Aku tidak punya teman, jadi aku menghabiskan waktu di perpustakaan universitas... Bahkan di hari Sabtu, Minggu, atau hari libur... Aku selalu bilang pada orang itu bahwa 'aku sedang belajar di universitas'."


Aku mencoba memahami situasinya. Siapa yang dia maksud dengan 'orang itu' dalam ceritanya? Meskipun detailnya belum jelas, tampaknya ada masalah dalam lingkungan keluarga yang memengaruhi kehidupannya. 

"Aktivitas itu... Sudah pasti buruk untukmu, bukan?"

"Memang begitu seharusnya, bukan? Aku hanya dilihat sebagai objek seks saat bersama mereka, dan aku tidak pernah merasa benar-benar dicintai. Meskipun begitu, aku merasa bahagia ketika mendapatkan uang." 

Mungkin baginya, cara paling cepat agar bisa mendapatkan uang untuk persiapan tinggal sendiri adalah dengan melakukan 'Sugar Dating' itu, yang mana tampaknya dia pilih sebagai pilihan terbaik satu-satunya. 

Namun, dilain sisi dia juga merasa bahwa dia tidak benar-benar menginginkannya dan tidak dapat menerima dirinya sendiri karena melakukan hal tersebut.

Meskipun menghasilkan uang untuk mencapai tujuannya adalah hal yang mengagumkan, jika hal itu berdampak negatif pada kondisi mentalnya, semua itu sungguh tidak sepadan. 

Setidaknya, aku sudah pasti akan menentang jika dia terus memaksakan dirinya untuk menjual tubuhnya seperti ini.


"Dari ekspresimu, sepertinya kamu salah memahami sesuatu. Asal kamu tahu, aku belum pernah memiliki pengalaman seksual dengan 'Sugar Daddy' mana pun."

"Eh, begitukah...?"

Pernyataan tak terduganya membuatku mengeluarkan lonjakan suara terkejut.

"Tapi kamu membeli... kondom di minimarket, kan?"

"Kondom bagiku adalah semacam amulet(jimat)."

"Kondom sebagai... amulet…?"

Aku tidak mengerti apa maksud Shizune dan mengerutkan alisku saat aku bertanya balik.

"Aku tidak ingin melakukan hubungan seksual dengan siapa pun selain dengan orang yang kusukai. Tapi jika suatu saat aku merasa dalam bahaya nyata atau seperti akan mengalami pemerkosaan, setidaknya.... aku akan memohon agar mereka menggunakan kondom. Ini semacam jaminan darurat pada saat-saat genting. Jadi, aku selalu membawa kondom saat pergi untuk pekerjaan itu."

"Jika kamu selalu membawanya dan tidak pernah menggunakannya, mengapa kamu datang ke minimarket untuk membelinya hari ini?"

"Karena amulet ku yang sebelumnya sudah dekat dengan waktu kadaluwarsa nya."

"Hah? ...Apa maksudmu?"

"Meski samar-samar aku menyadarinya, kamu masih perjaka, kan?"

"Mengungkapkan hal itu secara tiba-tiba itu sangat tidak sopan!"

"Tapi aku tidak salah, kan?"

Meskipun dia tepat sasaran, tapi aku tidak mau mengakuinya.

"Apakah aku mengeluarkan aura seorang perjaka yang begitu kuat?"

"Yah, agaknya. Reaksimu saat melihat kotak di kasir itu adalah pertanda pasti bahwa kamu tidak punya pengalaman."

Itu memang benar, reaksi ragu-raguku saat itu membuatku merasa malu.

Saat mengenangnya kembali, wajahku mulai merah karena rasa malu.


"Bagaimanapun, mari kembali ke topik awal. Kondom itu memiliki tanggal kedaluwarsa, dan setelah itu, entah mereka jadi mudah pecah atau apa. Sebagai seorang perjaka, kamu pastilah tidak memahami hal itu."

"Jangan perlakukan aku seperti orang bodoh hanya karena aku masih perjaka!"

Meski begitu, ini memang pertama kalinya aku mengetahui kalau kondom ternyata punya tanggal kadaluwarsa nya sendiri.

"Sebelumnya, aku mendapatkan kondom beberapa tahun yang lalu dari seorang teman, dan sekarang kondisi nya hampir mendekati tanggal kadaluwarsa. Jadi, hari ini aku berpikir untuk membeli yang baru di minimarket."

"Dan sebagai hasilnya, pegawai di minimarket itu kebetulan adalah seseorang yang mengetahuimu sebagai 'Kotone.'"

Dan itulah yang menyebabkan situasi saat ini. Kadang, kebetulan memang bisa jadi sangat menakutkan.

"Sesuai yang aku katakan, aku tidak berniat menyembunyikan pekerjaanku sebagai sugar baby. Aku tidak peduli dengan kesan orang di sekitarku, dan aku tidak keberatan jika mereka mengetahuinya. Tapi hanya sedikit, aku merasa ingin berbicara denganmu."

Dengan lembut, Shizune menggenggam cangkir kopinya dengan kedua tangan dan meminum seteguk kopi.

"...Lalu, sejak datang ke sini, aku berpikir..."

Dengan serius, Shizune memandang mataku.

"Jika kamu berencana menjadikan tempat ini sebagai tempat tinggal persembunyianmu saat kabur dari rumah, aku dengan berat hati menolak."

"Aku tidak berniat meminta sesuatu yang begitu egois."

Setelah selesai minum kopinya, Shizune meletakkan cangkirnya di ujung meja rendah. Lalu, tiba-tiba, dia mendekatkan wajahnya kearahku dan menggenggam tanganku dengan erat.


"Aku hanya ingin membangun hubungan saling menguntungkan, sebuah hubungan 'win-win' denganmu. Jadi, jangan khawatir."

Dia tersenyum licik dengan nada meremehkan.

"Jujur saja, aku ingin 'datang' ke rumah ini, 'datang dan pergi' bukan 'tinggal'."

"'Datang dan pergi'?..."

Secara tidak langsung ia mengungkapkan keinginannya untuk secara rutin mengunjungi apartemenku dan menghabiskan waktu di sini hingga mencapai jam malam di rumah.

"Tapi jika hanya dengan itu, akulah yang mendapat manfaat darinya, sedangkan kamu tidak bisa mendapat keuntungan. Maka dari itu, aku memiliki satu penawaran bagus... itu adalah kontrak terbaik yang akan membawa kebahagiaan bagi kita berdua. "

"Ko-kontrak...?"

"Ya. Kontrak ini dinamakan..."


---Kontrak Pernikahan berjalan.


Shizune mengusulkan kontrak yang begitu unik kepadaku.

"Aku akan datang ke apartemen ini dan membantu dengan pekerjaan rumah seperti seorang istri. Mulai dari memasak, mencuci, membersihkan, dan tugas rumah tangga lainnya. Jadi, sebagai gantinya aku ingin kamu membiarkanku terus datang seperti ini."

"T-tapi..."

"Dengan begitu, kamu akan bisa mempunyai lebih banyak waktu luang daripada sekarang. Kamu bisa memiliki lebih banyak waktu untuk menggambar ilustrasi, untuk mengejar mimpimu. Dan aku bahkan bisa membantu dalam latihan itu."

Setelah mendengar detail kontrak, aku dengan lembut melepaskan genggaman tangan Shizune.

"Kontrak Pernikahan berjalan... terdengar seperti sesuatu yang akan disalahpahami jika didengar oleh orang lain, bukan?"

"Kalau begitu, bagaimana dengan 'Kontrak Kucing'? Karena kita membicarakan kucing sebelumnya.."

"Itu pasti akan menimbulkan lebih banyak kesalahpahaman tahu!"

"Miaw~."

Shizune membuat ekspresi serius, dan dengan kedua tangannya dia menirukan pose seekor kucing.

Sejujurnya, dengan jadwal kuliah, pekerjaan paruh waktu, dan tugas rumah yang harus aku lakukan, aku hampir selalu tidak punya cukup waktu untuk latihan sebagai seorang ilustrator. Membiarkan dia menangani semua pekerjaan rumah adalah penawaran yang sangat menarik, dan bahkan dia bersedia membantu dengan latihanku. 

Dilihat dari manapun, ini adalah kesepakatan yang sangat menguntungkan.


"... Penawaran dan kondisi yang kamu sebutkan memang terdengar sangat menggiurkan."

"Benar, bukan? Jadi, kontraknya adalah---"

"Tapi sayangnya, aku menolak."

Jawabanku membuat Shizune bingung.

Dengan ekspresi yang sulit dimengerti, dia miringkan kepala dan bertanya.

"...Kenapa? Padahal kamu bilang 'sangat menggiurkan' tadi..."

"Meski sangat menggiurkan, itu bukan sesuatu yang bisa aku terima."

Shizune mungkin memiliki kepribadian yang aneh, tapi dia bukan orang jahat. Itulah yang aku tahu.

Tapi entah kenapa, saat aku melihatnya... rasa sakit mulai menusuk hatiku.

Kenangan dengan mantan kekasihku mendorong untuk merasa bahwa ini bukanlah sesuatu yang harus membuatku terlibatkan dengan Shizune. 

Meskipun 'Kontrak Pernikahan Berjalan' yang dia tawarkan adalah kesepakatan yang sangat menguntungkan, aku merasa ada resistensi tersendiri. Terutama karena aku merasa tidak nyaman dengan gadis yang memiliki karakteristik yang sulit dihadapi, seperti... gadis-gadis menhera.

Selain itu, Shizune itu lebih dari sekadar penampilannya. Dari bagaimana dia tiba-tiba bereaksi secara emosional sebelumnya, terasa seolah-olah ada "masalah" tertentu yang dia simpan dalam hatinya. 

Dia dengan jelas adalah tipe yang sama dengan"gadis-gadis itu".

Pikiranku mulai berkecamuk, detak jantungku meningkat, dan keringat dingin mulai mengalir di dalam pakaianku. Bagi seseorang seperti aku yang memiliki trauma dengan gadis menhera, Shizune adalah tipe yang seratus persen harus aku hindari. 

Meskipun kondisi yang dia tawarkan sangat menggiurkan, aku tak akan pernah bisa menerima tawaran kontrak yang dia ajukan.


"....Aku tidak akan menerima kontraknya. Tapi, aku juga tidak akan pernah mengatakan untuk tidak datang."

Meski pikiranku berkecamuk, aku merasa ingin membantunya. Sambil menempelkan tangan ke dadaku, aku berusaha untuk meredakan detak jantungku yang semakin keras.

"Apa itu berarti..."

"Sesekali, kamu bisa datang ke sini. Tentunya jika kamu benar-benar tidak punya tempat lain untuk pergi."

Aku merasa Shizune mirip dengan cinta pertamaku. Meskipun begitu, aku tidak tahu mengapa aku tiba-tiba merasa ingin sedikit memberikan bantuan untuknya. 

Dengan ekspresi bingung, Shizune kemudian memeriksa syaratnya sekali lagi.


"Aku tidak perlu melakukan pekerjaan rumah, tidak perlu membantu dalam latihanmu, tapi kamu akan membiarkan aku masuk ke dalam apartemenmu?"

"Hanya sesekali."

"Kenapa kamu mau melakukan itu..."

"Entah. Lagipula, bukankah menyenangkan memiliki 'teman' dari universitas yang sama yang bisa diajak bicara? Itu cukup bagus, bukan?"

Lalu, aku menambahkan, "--Lalu, sepertinya kamu cenderung ceroboh dengan masuk kedalam bahaya seperti itu, dan aku mengkhawatirkanmu."

"Dalam hal itu, saya setuju."

Shizune mengangguk pelan sebagai tanggapan atas kata-kataku.

"Kontrak 'Pernikahan Berjalan' dibatalkan... sebagai gantinya, mari kita membuat perjanjian untuk menjadi teman."

"Untuk menjadi teman, kita tidak membutuhkan perjanjian."

"Benarkah? Tapi... ya, mungkin kamu benar."

Shizune menurunkan pandangannya dan suaranya menjadi lebih cerah seiring dengan persetujuannya.


"Untuk menjadi teman yang bisa diandalkan, aku akan berusaha keras!"

"Tidak perlu berusaha seperti itu."

"Sebagai seorang teman, bagaimana caraku harus memanggilmu?"

"Semuanya tidak masalah. Panggil aku sesukamu."

"Kalau begitu, mohon bantuannya, Shinsuke."

Dia tersenyum manis dan berkata, "Ehe~" saat mengucapkan kalimat itu.

Karena Shizune jarang menunjukkan emosinya, ekspresi tiba-tiba seperti ini membuat perasaannya terlihat begitu jelas. 

Aku bahkan tidak bisa menyembunyikan sedikit rasa kagum pada bagaimana cara dia bisa tertawa seperti ini.

...Benar-benar, kurasa semuanya tidak akan berhenti sampai disini saja...

Dan dengan begitu, aku terhubung dengan Shizune Kotosaka - gadis "menhera" yang seharusnya tidak akan pernah aku pertimbangkan untuk berhubungan dengannya lagi sebelumnya.



Post a Comment

Post a Comment