Penerjemah : Dann
Proffreader : Dann
Chapter 1 : Memungut gadis cantik pemurung
──Lakukan sesukamu.
Hujan membasahi kulitnya yang
seputih salju yang akan meleleh.
Tanpa menunjukkan tanda-tanda rasa malu, seorang gadis yang memiliki penampilan bagus yang menutupi tubuhnya hanya dengan pakaian dalam hitam melemparkan dirinya.
Ke tempat tidur di kamar pria.
Gadis cantik, yang kata-kata dan tindakannya memprovokasi, menatap tak berdaya ke langit-langit dengan mata gelap tanpa cahaya, seolah dia sudah menyerah dalam segala hal.
"...Laki-laki memang seperti itu, bukan?"
Itu adalah kata yang seolah mengejek, tapi aku tidak merasa dia mengejek, kata itu tidak mengandung emosi apa pun.
Aku tidak peduli apa yang akan terjadi padaku.
Seolah mengatakan hal itu kepadaku, dia tetap dalam posisi tak berdaya, berbaring telentang di tempat tidur, tidak bergerak.
Seorang gadis yang putus asa.
Jika seseorang memperlakukanku seperti itu, aku sebagai siswa SMA yang masih dalam masa pubertas, perasaan nafsuku akan membara... namun.
Meskipun dia tanpa emosi, wajahnya sangat cantik sehingga aku tidak dapat melupakannya sejak pandangan pertama.
Tetesan air hujan mengguyurnya, dan berbeda dengan emosinya yang pucat, gundukan kembarnya yang besar menarik perhatianku.
Terlebih lagi, hanya ada aku dan dirinya.
Tidak ada orang lain dikamarku.
Ditambah dengan fakta bahwa keluarga, orang tua, adik, tidak akan ada yangenggangu, aku kesulitan menekan hasratku yang membara. Aku mencengkeram bagian dada bajuku yang terasa berat karena hujan, seolah menahan napas.
Tetangga berpenampilan cantik yang biasanya tidak akan pernah bisa kusentuh, yang hanya bisa kuanggap cantik.
Aku dapat menyentuh kulitnya yang tersembunyi.
Dalam situasi yang mustahil dan tidak realistis seperti ini, tanpa sadar suara hasrat terdengar dari tenggorokanku.
Pada saat yang sama, suara detak jantung yang berdebar menggetarkan gendang telinga. Seolah itu adalah bel peringatan.
Dalam pikiranku yang gelisah, aku memikirkan pertanyaan utama mengapa hal ini bisa terjadi.
Pertama-tama, aku tidak mengerti mengapa Sajo-san -- yang hanyalah tetanggaku di apartemen, ada di kamarku, karena dia sangat tidak berdaya sehingga dia tidak keberatan diserang saat ini di tempat tidurku.
(TLN: tolong koreksi kalau namanya salah)
--Kami bahkan belum pernah saling menyapa dengan benar.
Kenapa ya?
Aku memejamkan mata sedikit, seolah melarikan diri dari kehidupan luar biasa di hadapanku.
Ada langit biru di balik kelopak mataku. Sinar matahari pagi yang cemerlang mewarnai bidang penglihatan menjadi putih.
■■
Bunyi bip elektronik terdengar, membawa kesadaranku yang terjatuh kembali ke permukaan.
Aku masih mengantuk, dan saat aku berbaring diam, alarm berbunyi dan aku bergegas mematikannya, keheningan yang nyaman, seperti buaian, kembali lagi.
Namun, setelah beberapa saat, penundaan itu malah menyebabkan suara tersebut memekik keras.
Bunyi alarm yang menyaingi suara ayam berkokok.
Jika alarm berbunyi dan sudah mematikannya sebanyak tiga kali, maka tidak ada pilihan selain bangun meski tidak menginginkannya.
Aku meraba-raba mencari ponselku di tempat tidur, dan memeriksa waktu dengan mata tidak terbuka penuh. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh.
Masih banyak waktu sebelum sekolah, tapi kalau aku tidur lagi, aku akan terlambat.
"...Gawat, kesiangan."
Aku mencoba mengatakannya dengan lantang, tapi tanganku yang memegang ponselku tiba-tiba terjatuh dan aku terjatuh ke tempat tidur.
Saat aku pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka, aku bertanya-tanya apakah aku bisa tiba tepat waktu.
Aku tidak panik, tetapi jika aku terlambat, aku akan mengatasinya. Alasan aku menjadi lebih santai mungkin karena anggota keluargaku selain aku, pindah karena perjalanan bisnis Ayahku, dan sekarang aku tinggal sendirian. Mungkin itu sebabnya, meski sudah cuci muka, wajahku masih terlihat lesu di cermin.
Sambil menggaruk kepalaku, aku menuju ke ruang tamu, yang membuatku sadar sekali lagi bahwa aku tinggal sendirian. Masih ada tempat untuk melangkah, tapi ada barang-barang seperti cucian yang sudah dicuci dan dikumpulkan tapi belum dilipat, tumpukan kaleng kosong yang aku tumpuk untuk menghabiskan waktu karena malas membuangnya, dan penyedot debu yang aku tinggalkan saat aku hendak bersih-bersih.
Perasaan keadaannya tidak sekacau ini saat aku masih tinggal bersamaku setengah tahun lalu...?
Aku memiringkan kepalaku.
Bukan karena aku suka hidup seperti ini, tapi tentu saja itu karena kemalasanku.
Ya sudahlah, pekerjaan rumah tangga ketika tinggal sendirian sangatlah merepotkan, menjalani hidup tanpa harus mengkhawatirkan apa pun sangatlah mudah dan entah bagaimana aku menikmatinya.
...Aku merinding ketika membayangkan ibuku melihatku dalam situasi ini. Sedangkan untuk adikku...yah, aku tidak peduli.
Aku tidak punya banyak waktu sebelum sekolah, jadi untuk sarapan aku membeli onigiri diskon yang kubeli di supermarket kemarin. Tuna mayo adalah yang terbaik.
Aku sangat bergantung pada supermarket, tidak hanya di pagi hari, kurasa itulah rasanya hidup sendirian sebagai pelajar.
Aku mencuci pakaian dan mandi setiap hari. Bersih-bersih... Yah, kadang-kadang.
Saat aku bersiap untuk sekolah, aku membandingkan dirinya dengan anak SMA lain yang lebih malas dariku, yang mungkin ada di suatu tempat di dunia ini.
Lalu, aku mengganti seragamku dan keluar dari pintu.
"Nn……"
Pakai sepatu lalu ikat dan kencangkan tali sepatu. Ketika aku hendak pergi, aku ingat bahwa aku belum mengunci pintu dan bergegas kembali.
Dulu aku pernah lupa mengunci pintu, dan waktu itu aku merasa khawatir seharian. Setelah memastikan bahwa aku mendengar suara pintu terkunci, aku pergi meninggalkan kamarku.
"...Hmm..."
Aku menguap saat mulai berjalan menyusuri lorong umum apartemenku, seorang wanita yang kukenal berjalan ke arahku dari depan.
Tetanggaku. Namanya...aku lupa.
Tapi, aku tidak pandai mengingat wajah orang, dan aku tidak berminat untuk mengingat worang-orang yang tinggal di gedung apartemen yang sama denganku, tapi aku sangat mengingat wajahnya. Lebih tepatnya, aku tidak bisa melupakannya sejak pandangan pertama.
Alasannya karena wajahnya sangat cantik.
Orang sering membandingkan idola berdasarkan seberapa baik atau buruk penampilan mereka, tapi bagiku, aku tidak bisa membandingkannya dengan wanita lain.
Tampilannya seperti karakter anime, tidak ada cacat yang terlihat.
Aku bertanya-tanya kira-kira dia lebih tua dariku berapa tahun. Dia memiliki image seorang mahasiswi, tapi dia tidak memakai riasan dan hanya mengenakan hoodie dan celana hitam sederhana, memberinya kesan bahwa dia tidak terlalu modis.
Meski begitu, aku hanya bisa menyimpulkan kalau alasan aku tidak bisa melupakan wajah itu adalah karena wajahnya sangat cantik.
...Yah, ada satu bagian dari dirinya yang sangat tegas meskipun bahan hoodie-nya tebal. Tapi itu tidak ada hubungannya mengapa aku tidak bisa melupakannya.
Meski bertetangga, kami jarang bisa bertatap muka.
Aku jarang melihat wajahnya. Sehingga aku langsung terpikat oleh ekspresi wajahnya di pagi hari.
"...S-Selamat pagi."
Saat kami berpapasan di lorong, entah bagaimana aku memutuskan untuk menyapanya.
Tapi, yah kupikir tidak akan di jawab.
Entah berapa kali kami berpapasan, sama seperti hari ini. Salamku tidak pernah di balas.
Adapun reaksinya, dia hanya mendongak ketika mendengar suaraku.
Tanpa menggerakkan satu alisnya pun, dia menoleh ke arahku dengan mata hitamnya yang menyerupai langit malam tanpa bintang.
Tidak ada sedikit pun keramahan. Hanya salam satu arah.
Sikap itu, terkadang penghuni lain juga bersikap seperti itu, mungkin karena aku ingat wajahnya, jadi tidak menimbulkan kesan aneh. Tapi mungkin alasan mengapa aku tidak merasakan hal buruknya, karena dia cantik? Hatiku sungguh aneh, aku bahkan tidak mengerti.
"(Yaudah lah)"
Aku bersikap sok kuat.
Sebaliknya, jika dia mengatakan "Selamat pagi!" dengan senyuman lebar di wajahnya, jantungku berhenti berdetak.
Kami hanya tinggal di apartemen yang sama, dan kami tidak saling mengenal, jadi tidak masalah...
"……Selamat pagi"
--Saat aku berjalan menyusuri lorong yang berlawanan arah dengannya, sebuah suara samar menepuk punggungku.
Suara yang jelas dan asing membuat gendang telingaku bergetar.
Aku terkejut.
Aku reflek berbalik dan melihat lorong yang mencekumg, dia tenggelam di dalamnya. Dia bersembunyi di balik tembok dan tidak lagi terlihat.
(TLN: bangke banyak banget kata ungkapannya, bikin stress)
"……Eh?"
Setelah beberapa saat, suara kaget keluar dari mulutku.
Sejenak kupikir itu orang lain, tapi tidak ada orang di sekitar. Ketika aku mencoba mengintip ke cekungan lorong tersebut, aku tidak dapat menemukan siapa pun.
Itu adalah suara kecil dan serak yang membuatku berpikir aku salah dengar.
Akan tetapi, suara itu sampai ke telingaku.
Entah kenapa, aku diserang oleh emosi yang tak terlukiskan...Hmm.
Apakah ini hal yang baik atau mungkin ini hal yang buruk? Sulit untuk menilai. Terutama karena tidak ada perubahan pada ekspresinya.
Namun, aku bertanya-tanya apakah Tetangga-san, yang berwajah cantik, sedang dalam suasana hati yang baik.
Kalau dipikir-pikir, di tangannya ada tas dari toko kue dekat stasiun.
Apakah ini perayaan atau semacamnya? Paling tidak, mungkin ada kejadian bagus sehingga dia membalas salamku.
Jika iya, itu mungkin hal yang bagus.
"Ugh."
Aku melihat ke langit dari lorong.
Pertengahan Juni. Di tengah musim hujan, saat berhari-hari turun hujan, matahari yang menandakan akan memasuki musim panas semakin bersinar terang.
Aku ingin tahu apakah ini akan menjadi hari yang baik.
Apakah kejadian tak terduga itu adalah pertanda baik atau pertanda buruk?
Langit dengan awan tebal. Salju turun di luar musimnya, aku bertanya-tanya itu salju apa, tapi pipiku rileks.
Aku tidak merasakan perasaan buruk sama sekali di pagi yang panjang ini.
■■
"Selamat pagi"
Hampir terlambat. Aku berhasil menyelinap ke dalam kelas tepat saat homeroom akan dimulai.
“Keseiangan?” atau “Pasti kamu begadang main game.”
Aku menerima suara menggoda itu dan berkata, “Begitulah adanya,” lalu aku duduk.
(TLN: menggoda yang di maksud di sini tuh karakai[jahil])
Segera setelah aku meletakkan barang bawaanku, teman-teman sekelasku mulai berkumpul.
Gimana anime kemarin?
Aku pengen lihat episode terakhir drama itu minggu depan, tapi aku tidak ingin drama itu tamat.
Mereka berbicara secara berurutan, saling memberikan jawaban.
Hampir semua jawabanku atas percakapan ini, hanya "eh", "mungkin begitu", "Nah itu". Namun, menurutku itu adalah bahasa jepang yang praktis saat sedang terlibat dalam percakapan.
Memberikan kata-kata yang tepat. Tapi bukan berarti cerita teman sekelasku itu membosankan atau semacamnya...yah, mungkin itu masalahnya.
Bukannya aku tidak mau berbicara. Hanya saja aku lelah.
Sesepele apa pun ceritanya, cobalah berempati tanpa merusak suasana.
Pasang senyum ramah agar tidak hilang dari kelas. Namun, dengan cara yang tidak menonjol.
Menyesuaikan. Menyesuaikan. Menyesuaikan.
Pulang sekolah. Aku keluar dari gerbang sekolah lalu menghela nafas pelan.
"Lelahnya……"
Lebih lelah secara mental, daripada fisik.
Udaranya tipis, seolah nafas dalam hidupku di batasi. Sulit untuk bernapas.
Namun, siapa pun yang hidup berkelompok akan msrasakan sesak seperti ini.
Wajar jika udara menjadi lebih tipis ketika banyak orang berkumpul.
Aku bertanya-tanya apakah kehidupan sekolah memang seperti ini, dan gelembung kepasrahan muncul ke permukaan pikiranku.
Tiba-tiba setetes air mengenai ujung hidungku dan aku mengeluarkan suara, "Dinginnya."
Saat aku mengusap ujung hidungku dengan jari telunjuk dan melihat ke atas, aku melihat awan hitam menyebar, berusaha menutupi langit senja.
"Padahal kupikir hari ini adalah hari yang baik."
Firasat seseorang tidak selalu bisa diandalkan.
Aku berdoa agar setidaknya aku bisa sampai rumah. Aku biru-biru berlari.
Walaupun berdoa kepada tuhan, terkadang itu tidak terkabul.
Seperti yang diharapkan, tapi sayangnya hujan mulai turun.
Aku bukan tipe orang yang membawa payung hanya karena sekarang musim hujan, namun karena tadi pagi tidak hujan, aku tidak membawa perlengkapan apa pun untuk melindungiku dari hujan.
Aku menggunakan tasku sebagai payung, ketika cuaca menjadi lebih buruk, aku menambah kecepatan lariku menuju apartemen. Aku menggoyangkan tubuhku seperti anjing dan menyebabkan cipratan air.
Tentu saja, itu saja tidak cukup untuk mengeringkan air hujan yang terserap oleh seragamku.
Dengan tubuhku yang berat, entah bagaimana aku berhasil menaiki tangga dan mencapai lantai dimana kamar apartemenku berada.
Aku mempercepat jalanku saat sedang menyusuri lorong, saat aku sampai sepan pintu kamar apartemenku, aku melihat sesuatu.
"..."
Kamar sebelah. Di depan pintu masuk, aku melihat seorang gadis berambut hitam berjongkok seperti anak anjing yang terlantar.
Tentu saja, kakiku berhenti di depannya.
Siapa? Aku bisa mengetahuinya bahkan dari raut wajahnya yang terlihat murung.
Tetanggaku yang wajahnya sangat cantik.
Namanya... Aku tidak bisa mengingatnya walau sudah berpikir sangat keras.
Aku menggerakan mataku untuk memeriksa papan namanya. Ada tulisan “Sajo” yang ditulis dengan huruf putih.
Sajo…Sajo…. Aku mungkin akan melupakannya besok, tapi tidak apa-apa. Setidaknya, aku tidak akan pernah melupakan wajahnya.
Kamarnya di sebelah. Tetangga-san, yang hanya wajahnya yang kutahu.
Gadis itu, duduk di depan pintu masuk kamar sebelah. Badannya basah kuyup. Setetes air dari ujung rambut jatuh ke pangkuannya.
Kenapa? Pada awalnya, aku berpikir kondisi ini aneh, jika kupikir-pikir dengan benar. Mungkin kunci rumahnya hilang dan dia tidak bisa masuk.
Sial di hari hujan seperti ini. Aku juga akan melakukan hal yang sama jika itu terjadi padaku.
Aku turut prihatin, aku menggerakan kakiku yang berhenti. Mencoba membuka kunci kamar apartemenku,
“……”
Aku merasakan perasaan tidak enak dan berhenti merogoh-rogoh tasku.
Itu membuat hatiku merasa tidak nyaman, atau mungkin aku tersiksa oleh penyesalan.
Tapi di saat yang sama, aku merasakan perasaan aneh. Kira-kira kenapa, ya?
Basah kuyup karena hujan dan kehilangan kunci. Jika ada orang yang mengalami kesulitan seperti itu, aku merasa kasihan dan khawatir padanya. Tapi aku tidak ingin terlibat. Karena dia orang asing.
Yang terpenting, aku takut ditolak dengan kasar dan menimbulkan kerepotan yang tidak perlu.
Namun, aku merasa bersalah karena meninggalkan Sajo-san. Seolah rambutku ditarik ke belakang.
(TLN: cuman mau mengingatkan, di novel ini banyak mengandung kalimat ungkapan, jadi wajarkan jika ada kalimat² yang gak jelas, bahkan gw pun bingung, kalo mau tau arti ungkapannya bisa cek google)
Mungkin karena dia satu-satunya penghuni apartemen yang wajahnya kuingat.
Atau mungkin karena dia terlihat sangat cantik? Ujung-ujungnya Mandang fisik, tapi karena kita belum pernah berbicara, oleh karena itu, penampilan adalah satu-satunya cara aku menilai dirinya.
Kepada siapa aku membuat alasan? Aku menghela nafas pada diriku sendiri.
Apakah lebih baik aku mengajaknya bicara. Tapi gimana caranya mengajak seorang gadis bicara?
Terlebih lagi, dia sangat cantik sehingga orang lain bisa lupa bernapas saking terpesonanya.
Mendekati seorang wanita merupakan rintangan yang besar, apalagi jika dia gadis yang cantik, aku perlu menyiapkan mentalku.
Aku berputar-putar ke tempat yang sama berulang kali, mengkhawatirkan ini dan itu, tapi pada akhirnya aku hanya menjadi penakut, ini hanya masalah keberanian.
Apa pun yang terjadi, aku sudah memutuskan untuk angkat bicara, jadi tidak ada cara lain selain berusaha.
Tapi kayaknya polanya gak gitu deh...
Meskipun aku memikirkan itu, aku nyamperin dia lagi, setidaknya aku harus mencobaiiii memberinya handuk.
"Anu, maaf mengganggu"
"..."
Gawat. Aku pengen nyerah aja.
Meski kuajak bicara dia tidak memberikan respon apa pun. Jangankan menjawab, dia bahkan tidak menggerakkan satu jari pun.
Aku menyesal mengajaknya bicara secepat ini, tapi tidak mungkin aku bisa mundur begitu aku sudah mengambil langkah pertama.
Aku mengerahkan seluruh kekuatanku pada otot wajahku yang berkedut dan berhasil mempertahankan senyuman.
“Etto, apa kuncimu hilang makanya kamu tidak masuk ke kamar apartemenmu?”
"..."
Wajahnya yang tadinya tertunduk perlahan terangkat.
Mata hitam pekat. Jantungku berdetak kencang melihat tampilan mengkilap dari rambut basahnya yang menempel di pipinya. Pipiku menjadi panas.
Dia sangat cantik meski air menetes dari tubuhnya.
Jantungku berdebar kencang di dadaku, aku mencoba tetap tenang dengan cara menekan dadaku.
Apakah dia sadar? Dia menatapku dari bawah dengan mata yang tidak bisa dimengerti.
"......Ada kok."
Apanya? Ada tanda tanya sesaat, tapi aku segera menyadari bahwa itu adalah jawaban yang terlambat untuk pertanyaanku sebelumnya. Apakah dia kurang memiliki kepekaan atau gimana?
"Benarkah?"
Mungkin dia pura-pura kuat? Itulah pikirku. Faktanya dia belum masuk ke dalam kamar apartemennya.
Namun, ketika aku memperhatikan Sajo-san lebih detail, ada... Di tangannya ada kunci perak sederhana.
Itu sulit terlihat karena ada di tangannya, bentuknya sama dengan kunci yang kupegang. Dengan kata lain, itu adalah kunci kamar apartemennya.
Kalau ada, kenapa dia tidak masuk ke dalam?
Aku ingin membuka mulut untuk bertanya, tapi kemudian berubah pikiran dan menelan kata-kataku.
Ketika aku mencoba memasukkan kuncinya, kunci itu tidak bisa masuk, pasti ada sesuatu yang terjadi.
Aku berpikir untuk bertanya sebagai orang asing, tapi kemudian aku berpikir dua kali, sebagai tetangga mungkin aku harus turun tangan.
Aku penasaran. Aku penasaran, tapi...aku menekan rasa penasaran itu. Dengan mengingat hal itu, apa yang harus kulakukan sekarang?
Menyerahkan handuk dan mengucapkan selamat tinggal adalah hal yang paling benar untuk dilakukan sebagai tetangga.
Tetapi...
Aku tidak tahu kapan dia akan masuk ke kamar apartemennya, meninggalkan gadis yang basah kuyup di tengah hujan juga bukanlah hal yang baik.
Meski apartemen ini memakai kunci otomatis, bukan berarti tidak ada orang asing di sekitar sini.
Aku menyilangkan tanganku. Aku memiringkan kepalaku. Aku memegang kepalaku.
Goyangkan kepala untuk keringkan rambut, yosh.
Satukan pikiran. Yang perlu kulakukan hanyalah memastikannya pada Sajo-san.
Namun, hal ini membutuhkan keberanian, aku sangat gugup hingga aku berkeringat. Jantungku berdegup kencang hingga terasa sakit.
Huff, hah. Aku menarik napas dalam-dalam dan menampilkan senyum terbaikku.
"Jika kamu tidak keberatan..."
Bibirku gemetar. Lidahku hampir tergigit. Entah bagaimana aku berhasil memberikan saran.
“...Apakah kamu ingin datang ke kamar apartemenku?”
“……”
Keheningan itu menyakitkan...!
Aku merasa seperti dibunuh secara mental.
Mungkinkah, aku terlihat seperti serigala yang mencoba membawanya masuk ke dalam ruangan?
Tentu saja aku bersumpah demi Tuhan, aku tidak berniat melakukan hal senonoh seperti itu.
Aku memang tidak berniat... tapi aku sadar jika dilihat secara objektif, aku mungkin memiliki motif tersembunyi seperti itu. Itulah sebabnya, aku menjadi pucat.
Apa yang harus kulakukan jika dia memanggil polisi? Apakah aku akan di tangkap?
Aku tidak ingin memiliki catatan kriminal di bawah umur. Maukah kamu memaafkanku jika aku meminta maaf sekarang?
Saat aku memikirkan itu, mulutnya sedikit terbuka saat dia menatapku dengan tatapan kosong.
Apa? Aku menguatkan diriku sedikit. Namun, tanpa berkata apa-apa, aku mengatupkan bibirku erat-erat.
Bagaimana...?
Saat aku menyaksikan dengan ngeri, gugup dan cemas, Sajo-san menundukkan kepalanya lagi dan bergumam.
"……Aku tidak peduli."
Apakah itu berarti dia setuju?
Aku tidak tahu. Aku tidak tahu...tapi bukan berarti aku ditolak.
Mungkin itu bisa diangga sebagai, “Yes”. Tapi itu juga jawaban yang masih abu-abu.
...Mau tak mau aku merasa semakin menjadi orang jahat yang suka membawa gadis bersamaku. Itu adalah pemikiran seorang penjahat. Namun, aku tidak merasa seperti itu, jadi aku hanya akan menganggapnya sebagai imajinasiku saja.
“Kalau begitu, apakah kamu ingin masuk?”
Untuk memastikannya, aku bertanya lagi.
Untuk jaga-jaga, aku mengakhiri kalimat dengan pertanyaan. Agar dia mau masuk atas keinginannya sendiri, dan bukan paksaan.
Kehendak yang lemah. Aku khawatir jika dia akan mengikutiku dengan kehendak yang lemah seperti itu, tetapi Sajo-san berhasil berdiri meskipun dia tidak stabil. itu bagus. Sepertinya dia bersedia ikut.
Beberapa langkah dari sana. Ke pintu depan kamar apartemenku.
Sesampainya di pintu masuk, aku mencari kunci di tas sekolahku. ……mencari. Eh, apa?
Dengan panik aku mencarinya di dalam tasku, entah bagaimana aku berhasil mengambil kuncinya.
Aku menarik napas lega. Aku sedikit malu. Kenapa ketika aku ingin bersikap keren, aku malah menjadi gugup? Seharusnya aku membukanya lebih awal. Aku benci perilaku burukku.
Akhirnya kuncinya terbuka dan pintu pun terbuka. Dorong pintu ke dalam ruangan, lalu tutup pintu dari dalam.
"Ah. S-Silahkan?"
"……Maaf mengganggu,” kata Sajo-san. Ah, dia sopan juga ternyata.
Ini mengejutkan karena dia selalu tidak ramah. Mungkin dia sebenarnya anak yang baik.
Aku dengan santai melepas sepatuku dan menginjak keset dengan kaus kakiku yang basah.
Ceprot. Ada suara air saat aku menginjakan kaus kakiku yang basah ke lantai.
(TLN: kalo bingung coba aja tes sendiri di rumah, karena gw juga bingung sfx nya gmna :v)
“Masuk aja, gak perlu khawatir bakal becek.”
Lagipula kesetnya sudah basah karena kakiku. Dan hal yang sama juga akan terjadi di lorong.
Apakah dia akan mengikutiku atau tidak?
Tanpa memberikan tanggapan apa pun, dia melepas sepatunya dan masuk. Dia tidak hanya mengikutiku...melainkan, dia berbalik dan merapikan sepatunya...bahkan sepatuku pun juga.
Ternyata dia memang anak yang baik. Di sisi lain, aku adalah anak nakal.
Kalau hanya masalah sepatu, aku selalu meletakannya dengan rapi, tahu? Beneran, lho? Tetapi hari ini aku sedang terburu-buru, atau lebih tepatnya, aku berpikir bahwa aku perlu membangunkan Sajo-san secepatnya. Gohon.
Seolah ingin menyembunyikan rasa malu yang muncul di mataku, aku berseru, “Sini,” dan mendesak Sajo-san ke kamarku.
Bukan berarti aku ngajak nganu, lho?
Jika aku membuat alasan seperti itu, mungkin akan lebih baik jika aku tinggal di ruang tamu, tapi...
Tidak ada yang bisa kulakukan, karena tidak ada siapa pun yang bisa membimbingnya. (Petunjuk: Seorang pria tinggal sendirian)
Pintu yang di sebelah pintu masuk. Itu adalah kamar yang kutawarkan untuknya, itu cukup rapi.
Hanya saja, ada konsol game dan beberapa manga yang berserakan. Tapi kurasa itu masih batas wajar.
Namun, ini pertama kalinya aku membimbing seorang gadis berkeliling kamar apartemenku, jadi aku sedikit gugup. Tidak ada sesuatu yang akan mengganggunya jika dilihat olehnya, kan? Baunya aman, kan? Jika aku diberi tahu kalau kamarku bau amis, aku tidak akan pernah bisa berbicara dengan seorang gadis lagi, tahu?
“Duduklah senyamanmu.”
Aku mengeluarkan bantal empuk yang tergeletak di sekitar dan menggelarnya.
Lagipula, tidak mungkin ada jawaban. Tanpa menunggu jawaban, aku meninggalkan Sajo-san sendirian di kamar dan berlari ke kamar mandi.
Aku membuka rak berpintu ganda dan mengobrak-abriknya.
Untuk saat ini, handuk dulu.... Eh, are? Tidak ada handuk yang masih baru? Yang baru, yang baru... Setidaknya yang baru di pake sekali juga tidak apa-apa.
Aku melempar keluar semua barang yang ada di dalam lemari. Mungkin jika ibuku melihat ini, dia akan berkata, “Akam sulit untuk membersihkannya nanti!” dia mungkin akan marah, tapi untungnya aku tinggal sendiri sekarang. Tidak ada seorang pun yang akan marah jika aku membuat kekacauan.
Lantai di sekitar kamar mandi dipenuhi dengan benda-benda seperti kotak mainan yang terbalik, dan entah bagaimana aku berhasil menemukan handuk yang belum dibuka dengan selembar kertas bertuliskan “hadiah”..
Sepertinya, dulu ibu memberikan handuk ini ketika dia menerima hadiah dari berlangganan koran? Kalo mau liat berita tinggal buka internet. Aku pikir aku tidak membutuhkan koran, namun ternyata itu berguna dalam hal yang tidak terduga. Terima kasih koran. Tapi aku tidak akan berlangganan.
Aku melepas bungkusnya, dan bergegas kembali ke kamar.
Aku meraih gagang pintu untuk menghentikan momentum lariku dan bergegas masuk ke dalam kamar seperti longsoran salju.
"Nih, pakek han...duk...nya...!?"
Dia melepas pakainnya.
Hoddie, celana.
Dia berbaring ke tempat tidur, mengabaikan bantal yang telah kusiapkan.
Dia hanya mengenakam pakaian dalam berwarna hitam dan memiliki keserasian antara bagian luar dan dalam.
Kontras antara celana dalam hitam dan belahan dada putih bersih begitu seksi...tidak bukan itu!
“K-Ke-kenapa kamu melepas pakaianmu!?”
"...Karena gak enak kalo basah."
Meski begitu, meski ingin melepasnya, apakah harus bersikap sesantai itu?
Huh... Bahkan saat dia telentang, payudaranya tidak kehilangan bentuknya. Untuk sesaat, sebuah pikiran jahat muncul di benakku, tapi aku buru-buru membalikkan badanku.
Aku menutup wajahku.
Aku dengan jelas melihatnya telanjang...tidak, dia tidak telanjang, yah, tapi itu mirip. Aku membenci diriku yang berpikir bahwa ini adalah rezeki nomplok.
Aku merasa bahagia, tapi aku juga merasa ini adalah masalah. Jantungku berdetak sangat kencang hingga aku hampir tidak bisa bernapas. Namun, aku lebih merasa malu daripada merasa beruntung jika ada gadis mengenakan pakaian dalam di kamarku.
"Tidak, tapi gimana yah? Melepas pakaian di kamar pria itu agak.....”
Aku akan senang jika dia lebih waspada sebagai seorang gadis. Mungkin akan lebih menggoda jika dia terlihat malu? Apa sih yang aku bicarakan?
Aku mengeluarkan suara yang tak terlukiskan dan berjongkok,
"Lakukan sesukamu……"
Dan kemudian, kata-kata tak terduga itu sampai ke telingaku.
Suaranya tidak terstruktur. Mataku melebar dan aku berbalik, melupakan penampilan telanjangnya.
Dia berbaring di tempat tidurku hanya mengenakan pakaian dalam, berbaring telentang.
Dia menatap langit-langit dengan mata gelap tanpa emosi.
"...Laki-laki memang seperti itu, bukan?"
Sikap putus asa, seolah sudah menyerah dalam segala hal.
Sepertinya dia tidak peduli apa yang akan kulakukan padanya.
Bahkan jika aku mencoba menyentuh kulitnya yang lembab dan telanjang saat ini, aku yakin dia tidak akan menolak, dan aku tidak akan memberitahu siapa pun tentang apa pun yang kulakukan padanya.
Jika aku mengikuti hasratku, aku akan menyentuhnya.
Tapi itu benar.
Memang benar, wajah Sajo-san itu cantik. Tidak ada bagian yang sia-sia, dia cantik dan keren.
Apalagi tubuhnya montok dan feminim. Jika bertamya padaku apakah aku ingin menyentuh gundukan kembar yang montok dan besar itu, aku sangat ingin menyentuhnya.
Tapi, tapi, kan?
“──Jangan bodoh.”
Namun, aku tidak terlalu tertarik pada gadis yang menyerahkan tubuhnya hanya karena putus asa. Aku hanya ingin melakukannya jika dia benar-benar ingin melakukannya dan bukan karena depresi atau apa pun itu
Beneran deh. Aku ingin memberitahunya untuk tidak mengatakan hal bodoh. Aku diam saja karena aku tidak ingin menyakiti lebih jauh wanita yang sudah tersakiti.
Aku melempar handuk yang kubawa ke arah Sajo-san. Itu jatuh dengan ringan di wajahnya.
Wajahnya tersembunyi di balik handuk sehingga aku tidak bisa melihat wajahnya, aku berkata, "...ahh," seolah puas.
"...Kamu tidak suka kalau basah?"
"Tidak!? Lap bagian yang basah! Tidak ada maksud lain selain itu, paham!?"
Jika aku benar-benar ingin menyentuhnya, tidak masalah apakah dia basah atau tidak, mwehehe.
(TLN: di raw tulisannya Fufufu, yaudah biar keren dikit ganti gitu aja ;b)
…………Bukan apa-apa. Bukan apa-apa, lho? Beneran, lho? Beneran tahu. Karena aku tidak berbohong.
Aku membenturkan kepalaku ke dinding dekat pintu untuk menenangkan diriku. Aku telah memikirkan sesuatu yang buruk. Aku menyesal.
“Juga, jika kamu tidak keberatan, kamu mau mandi?”
"..."
Entah mengapa menjadi sunyi. Apa yang barusan terjadi?
"...Apakah kamu akan ikut masuk juga nanti?"
"JANGAN SAMPAI KAMU MASUK ANGIN!"
Apa-apaan sih anak ini?
Mungkinkah dia berpura-pura menjadi gadis pemurung yang cool, tapi sebenarnya dia adalah gadis yang ceria?
Aku menatap Sajo-san yang menuju kamar mandi, handuk tergantung di kepalanya seperti tirai. Aku melihat dan mendengar suara pintu geser ruang ganti ditutup,
"Haaahhhh..."
Dan aku berlutut.
Aku merasa lelah, seolah aku berlali dengan sekuat tenaga. Tubuhku sudah tidak punya kekuatan lagi.
Apakah aku sedang diuji? Apakah ini ujian dari Tuhan? Tapi aku tidak ingin menjadi pendeta, tahu?
Seolah akal sehatku di potong-potong oleh gergaji mssin.
Bisakah aku menahan diri? Aku tidak bisa mempercayai diriku sendiri.
■■
Dua, tiga, lima, tujuh, sebelas, lima belas... Aku menghitung bilangan prima agar tenang. Ah, habis dibagi lima.
Aku duduk di tempat tidurku, melipat tanganku, dan menatap ke angkasa. Aku harus mendapatkan kembali rasionalitasku, yang telah dihancurkan oleh godaan payudaranya, sebelum Sajo-san kembali.
"Muu"
Aku mendengar pintu geser ruang ganti terbuka.
Suara langkah kaki mendekat. Persiapkan diri. Tenang saja. Rasionalitasku telah di perkuat oleh bilangan prima, kalau nahan godaan gadis yang habis mandi mah sepele.
"……Aku kembali.”
Saat aku mendongak untuk menyambutnya kembali, rasionalitasku mati.
Kali ini dia tidak telanjang.
Dia mengenakan kaus dan hoodie dengan ritsleting.
Namun, risletingnya cuman bisa sampai atas pusarnya, dan payudaranya yang besar terbuka penuh, seolah-olah akan menonjol keluar. Tetesan air tersedot ke belahan dadanya, rasionalitasku di tendang keluar.
"Tidak...tidak, tidak!? Apa ini!? Aku telah meninggalkan baju di sana, kan!?"
Yang kuberikan adalah barang baru.
Gerakan Sajo-san terhenti. Tidak ada perubahan pada ekspresinya... Apakah dia dalam masalah?
"Aku memakainya, tapi..."
Dia menggerakan tangannya untuk memeluk tubuhnya, kue apemnya bergoyang.
"...Karena, tidak muat."
kamu pasti bercanda.
Bagaimana bisa bajunya tidak muat? Itu baju Laki-laki, loh? Hal mustahil seperti itu.
(TLN: mau ingetin aja, ukuran tubuh laki-laki itu lebih besar daripada perempuan, jadi otomatis ukuran bajunya juga lebih gede)
Aku tidak dapat mempercayainya, dan aku tidak dapat memberikan kekuatan apa pun pada rahangku. Inilah yang dimaksud dengan tidak bisa menutup mulut yang terbuka.
“Kalau begitu, kenapa kamu tidak menutup ritsletingnya…?”
"...Karena itu tidak bisa ditutup."
Saat dia menggerakkan tangannya untuk mendorong payudaranya ke dalam, ritsletingnya meluncur ke bawah dan payudara bagian bawahku mengintip keluar.
Saat aku melihat kulit putihnya menyembul dalam bentuk V, aku menutupi wajahku sambil berpikir, “Ah, ini benar-benar kacau.”
Monster macam apa yang dia pelihara? Belahan dada berbentuk I sangat beracun bagi mata. Setidaknya cobalah menyembunyikannya.
Melihat bagian yang seharusnya tidak boleh dilihat, aku sulit memfokuskan mataku.
"Apa? Apakah itu hobimu?"
“Tentu saja bukan!?”
Jika di tanya apakah aku menyukainya atau membencinya, tentu saja aku menyukainya, tetapi itu jelas bukan niatku.
Tolong percaya padaku, Ketua Hakim! Aku tidak bersalah!
Saat aku dengan keras memprotes ketidakbersalahanku di dalam pikiranku, dia duduk di sebelahku dan berkata, “—Gitu,” seolah-olah dia tidak peduli. Untuk sesaat, tempat tidurnya tenggelam.
...Kenapa dia duduk di sebelahku?
Kenapa harus di tempat tidur, itu ada kursi, kan? Aku juga menyediakan bantal. Apakah bantalnya tidak lembut? Pas aku pegang lembut kok bantalnya..
Aku gelisah. Mungkin karena dia baru saja selsai mandi kulitnya jadi memerah, rasanya panas tubuhnya tersampaikan pada tubuhku.
Ini seperti berada di kereta yang hampir tidak ada penumpang dan seorang wanita duduk di sebelahku. Perasaan ingin pindah tapi harus berhati-hati agar tidak membuatnya merasa tidak nyaman.
Apa yang harus aku lakukan. Saat aku gelisah dan melihat ke arah Sajo-san, aku takut aku bisa melihat ujung payudaranya yang montok dan sesusatu yang berwarna merah muda melalui celah antara hoodie yang terbuka dan kulitnya, jadi aku buru-buru menoleh ke depan dan memperbaiki leherku. Padahal aku belum mandi, tapi mukaku terasa panas.
Sungguh, ketidakberdayaan macam apa ini?
Dia biasanya terlihat agak berhati-hati, tapi kenapa dia begitu lemah hari ini?
Apakah ini yang di sebut kesempatan untuk memanfaatkan kelemahan orang lain? Tidak tidak tidak. Aku tidak akan melakukan hal seperti itu meski ada kesempatan...! Are? Bukannya ini sudah termasuk kejahatan?
Aku sangat bingung dan khawatir.
Pikiranku kacau dan aku membuat banyak kebisingan, tetapi ruangan itu sunyi.
Sajo-san hanya duduk diam dan tidak mengatakan apa pun, aku tidak punya pilihan selain tutup mulut.
Sejujurnya, ini terasa canggung. Meskipun ini kamarku sendiri, aku merasa tidak nyaman.
Haruskah aku kabur ke ruang tamu? Tidak ada gunanya berduaan kayak gini, kan?
Pakaiannya terlalu cabul, bukannya malahan bagus kalau dia melepas pakaiannya jika ada aku di sini (?)
TIDAK. Pikiranku kusut seperti benang. Otakku yang dari awal sudah tidak pintar malah menjadi parah. Siapa yang bodoh?
Namun, melarikan diri bukanlah ide yang buruk. Jika aku pura-pura tidak melihat ini dan kabur dari kamar, ini akan saling menguntungkan.
Haruskah aku kabur? Ayo kabur.
Jadi, karena tidak sanggup menahan suasana yang berat ini, aku mencoba mengangkat pinggulku untuk kabur, tetapi ketika aku melihat ke sampingku, aku terkejut.
“……”
Tidak mengatakan apa pun.
Ekspresinya juga tidak berubah.
Dia menangis.
Bahkan sedikit pun perasaan sedih dan frustasi tidak tersampaikan padaku.
Air mata jatuh di wajahnya.
Seolah-olah itu adalah fenomena gaib, alisnya tidak bergerak, dan sungai kecil mengalir di pipi putihnya.
kenapa dia menangis? Bagaimana aku harus menghiburnya?
Ini pertama kalinya aku melihat seorang wanita menangis, dan aku tidak tahu harus berbuat apa.
Yang bisa kudengar hanyalah suara tak bermakna seperti "ah" dan "eh". Bagian dalam kepalaku seluruhnya putih, seolah-olah ditutupi cat putih.
Bahkan jika aku mencoba memikirkan sesuatu yang baru, pikiranku dipenuhi dengan warna putih satu demi satu dan aku tidak dapat membentuk pemikiran apa pun.
Yang bisa kulakukan hanyalah menyaksikan Sajo-san menangis. Di situlah aku mendapat pukulan keras.
"...! Sajo-san!?"
"..."
Aku dipeluk.
Tiba-tiba. Tanpa peringatan apa pun.
Tanpa melakukan kontak mata, kukira dia akan terjatuh, tapi kemudian dia melingkarkan tangannya di punggungku dan memelukku erat, seolah mencoba mematahkan pinggangku.
Perutku lemas dan nafasku keluar dari mulutku.
Pada saat yang sama, darah mengalir ke kepalaku, aku merasakan beban di dadaku yang meremukkanku saat dia bertumpu di pangkuanku.
Aku tidak bisa lari lagi. Yang bisa aku lakukan hanyalah mengangkat tangan dan terus berusaha membuktikan bahwa aku tidak bersalah kepada seseorang yang tidak ada di sini.
Namun, ini adalah akhir dari pemikiran tentang pembelaan diri.
"...Aku berbeda. Berbeda, berbeda, berbeda...! Dengan wanita itu..."
Dia berkali-kali mengucapkan beebeda.
Bagaikan anak kecil yang sedang mengeluh, Sajo-san terus menerus menyangkal sesuatu.
Dia berbeda dari gadis tanpa emosi seperti sebelumnya, yang pesimis dan menyerah akan segala hal. Orang yang menempel padaku adalah gadis muda yang berteriak dan menangis.
Apanya yang berbeda? kenapa dia menangis? Kenapa dia berjongkok di depan pintu?
Jawaban atas pertanyaan itu adalah kunci yang dipegangnya. Mungkin di balik pintu itu.
Aku ingin bertanya padanya. Apa yang telah terjadi?
Tapi aku tidak mempunyai wewenang untuk menanyakan hal itu.
"~~...Aaaarrrrgghhh! Arghhhhh! Aaarrrgggghhh... Kenapa, kenapa kenapa aku.... Padahal aku tidak...”
Dia mencengkeram pakaianku begitu erat hingga dia hampir merobeknya. Aku hampir menjerit kesakitan seolah-olah ada paku yang menusuk punggungku.
Tetap saja, yang bisa kulakukan hanyalah tetap diam dan menunggu dia tenang.
Bagaimanapun, aku hanya tetangganya.
■■
Sebelum aku menyadarinya, aku tertidur hingga pagi hari, saat aku bangun, entah mengapa aku sulit untuk berbicara.
Sepertinya aku tertidur di tempat tidur dalam posisi duduk, tubuhku kaku dan terasa sangat sakit. Saat aku menggerakkan kepalaku, suara melengking bergema di telingaku. Aku terlalu malas untuk menggerakkan tanganku, aku hanya ingin tetap tertunduk seperti ini.
Namun karena aku lupa menutup gorden, sinar matahari pagi yang menyinari jendela membuatku tidak bisa tidur lagi. Aku memejamkan mata rapat-rapat terhadap silaunya sinar matahari, yang menyuruhku untuk bangun pagi.
Dengan enggan aku bangun, tetapi seluruh bagian tubuhku terasa sakit. Terlebih lagi aku merasakan nyeri pada punggung yang terasa seperti tergores.
"(Ngantuknya)"
...Apa yang telah terjadi kemarin?
Ruangan yang diterangi matahari adalah kamarku yang sama seperti biasanya. Kehidupan sehari-hari tanpa terjadi apa-apa.
Namun, otakku yang mengantuk menyadari fakta bahwa sesuatu telah terjadi kemarin.
"Ah, apa? Um?"
Aku mendorong kedua ibu jariku ke tangah-tengah alis. Aku mencoba mengingat kembali ingatan yang aku miliki sebelum aku tertidur.
Namun, bahkan setelah memikirkannya sebentar, ingatan kabur itu tetap tidak jelas. Apakah itu sesuatu yang tidak penting, atau peristiwa mengejutkan yang ingin aku lupakan?
"...Aku ingin tahu apakah seperti ini rasanya bangun tidur kalau habis mabuk."
Lima belas tahun. Jalanku masih panjang sebelum aku bisa minum alkohol, dan aku hanya bisa membayangkan minum terlalu banyak hingga aku kehilangan ingatan. Namun, aku rasa aku tidak ingin meminum minuman yang bisa membuatku hilang ingatan.
Saat aku berdiri, berpikir bahwa mencuci muka akan membantuku mengingat, tiba-tiba aku melihat selembar kertas memo di meja belajar terpantul di sudut pandanganku. Biasanya, aku tidak akan memperhatikannya, tapi tulisan tangan asing itu menggangguku.
Sambil menggaruk kepalaku karena mengantuk, aku mendekati meja dan mengambil memo itu.
Mataku basah dan pandanganku kabur. Aku menggosok mataku. Saat aku menyipitkan mata dan fokus, senyuman tiba-tiba muncul di wajahku, seolah bahuku sedang rileks.
‘Aku tidak mengucapkan terima kasih. Tapi aku akan membalas utang budi ini.’
Kenangan kabur itu kembali padaku dengan jelas seolah-olah telah bangkit kembali.
Tulisan tangannya rapi. Namun, keterusterangan perkataannya membuatku merasakan keunikannya, meski aku tidak terlalu mengenalnya.
Aku ingin tahu apakah dia sudah merasa sedikit lebih baik? Kalau iya, itu bagus sekali.
Yang bisa kulakukan hanyalah berharap. Aku tidak bisa menebak pikiran orang lain, terlebih lagi aku hanyalah tetangganya. Kemarin adalah pertama kalinya aku berbicara dengannya, dan aku tidak tahu apa-apa tentang dia.
Tapi baiklah.
Meskipun aku tidak mengerti, hatiku terasa ringan.
Mungkin karena aku mengulurkan tanganku untuk masalah yang bukan urusanku. Atau mungkin aku merasa aku bisa menjadi sedikit kekuatan untuk dirinya, tapi untuk saat ini aku hanya ingin membenamkan diriku dalam perasaan nyaman.
Aku terhuyung mundur, merentangkan tanganku, dan terjatuh ke tempat tidur. Lalu, aku menggerakkan hidungnya dan mengerutkan kening.
...Baunya manis.
Seperti bunga. Seperti permen.
Namun, aroma yang merangsang instingku membuatku menutupi wajahku dan berguling-guling di tempat tidur. Aku mungkin tidak bisa tidur hari ini.
■■
Tentu saja, aku tidak bisa tidur, dan hasilnya, aku berangkat ke sekolah dengan kantung mata yang berat.
Awalnya aku mencoba untuk tidak mengkhawatirkannya, tapi kenyataan bahwa tempat tidurku berbau aroma orang lain sungguh meresahkan.
Aku ingin menggunakan semprotan untuk menghilangkan baunya, tapi entah mengapa bagian diriku yang lain menolaknya...
Aku telah mencapai batasku.
Segera setelah aku duduk di tempat dudukku, aku menjadikan tasku sebagai bantal. Dan aku menjatuhkan kepalaku ke tas itu. Kesadaranku memudar.
Aku mengucapkan selamat malam pada diriku sendiri dan pergi tidur, dan menjadi orang paling mengantuk yang pertama yang tertidur.
……──
──……?
Dunia yang gelap gulita berguncang.
Meskipun semuanya hitam, rasanya aneh, seolaj bergerak.
gempa bumi? Itu yang kupikirkan, tapi ternyata tubuhku yang bergoyang.
Kemudian, secara tidak sadar, aku menyadari bukan tubuhku yang bergetar secara alami, melainkan bahuku yang sedang diguncang.
Seseorang sedang mencoba membangunkanku.
Teman sekelas? guru? Yang lainnya...aku tidak bisa memikirkan yang lainmya.
Yahh, terserah dah siapa aja.
Aku belum tidur sama sekali dan sangat mengantuk. Aku tidak bisa mengikuti pelajaran. Aku telah memutuskan untuk tidur sambil belajar hari ini. Bahkan, umtuk sampai ke kursiku saja, aku berjuang sangat keras.
Jadi tolong biarkan aku tidur untuk hari ini.
Aku mencoba terjun ke dunia mimpi walaupun sedang di serang...
"Bangun."
──Gon.
Aku menerima serangan yang sangat kuat. Aku di bangunkan oleh kesakitan yang luar biasa. Atau lebih tepatnya, mataku langsung melebar.
“Apaan sih!?”
Apa yang terjadi!?
Aku menahan rasa sakit di kepalaku, seolah-olah aku baru saja dipukul dengan palu. Itu sangat menyakitkan. Aku menangis.
Meskipun aku sudah sadar sepenuhnya, situasinya benar-benar tidak dapat dipahami.
Walaupun aku tertidur di kelas, tapi tidak harus membangunkanku dengan menggunakan kekerasan?
"Ub...siapa sih?"
Mengendus.
Saat aku hendak mengangkat kepalaku dan menatapnya dengan penuh kebencian untuk melihat siapa yang melakukan tindakan kekerasan mendadak ini, mataku membelalak. Aku lupa bernapas.
Mungkin aku masih dalam mimpi?
Aku mengedipkan mataku dengan cepat, aku berbicara kepada penghuni mimpiku.
"...Apakah kamu menyusup ke sekolah ini dengan cara bercosplay?"
“Jika kamu masih setengah tertidur, bolehkah aku memukulmu lagi?”
Orang yang mengatakan ini adalah penghuni mimpi yang menatapku dengan mata kosong dari kursi di sebelahku – Sajo-san.
Dia sedang memegang kamus bahasa Jepang yang sangat tebal... Eehhh.
“Jangan-jangan… kamu memukulku menggunakan itu?”
“Karena kamu tidak bangun.”
Bukannya itu jahat?
"Aku menggunakan bagian ujung"
“Bukankah itu termasuk percobaan pembunuhan?”
Kamus bahasa Jepang adalah senjata mematikan!?
Kasus percobaan pembunuhan berdarah. Terlebih lagi, korbannya adalah aku, aku tidak bisa berhenti gemetar.
Di sisi lain, Sajo-san, yang mencoba membuatku tidur selamanya, hanya berkata, “Oh gitu,” tanpa minat, dan meletakkan kamus bahasa Jepang di mejaku. ...Dan (senjata pembunuh) itu adalah milikku.
“Tidak, tapi sungguh, kenapa?”
"ini."
Apa yang dipegang Sajo-san dengan satu tangannya adalah sesuatu yang berbentuk persegi dan dibungkus dengan kain biasa.
apa itu?
Aku memiringkan kepalaku dan mengarahkan tanganku untuk menyentuh kotak itu. Mengapa aku?
"Bento."
"Bento……"
Begitu ya, aku tidak mengerti.
Di belakang Sajo-san. Ada sebuah jam sederhana di dinding, ini memasuki jam istirahat makan siang.
Tak perlu dikatakan lagi, ini waktunya makan siang. Bisa dibilang, itu adalah item yang sangat tepat untuk saat ini...itu memang sangat tepat untuk saat ini, tapi aku masih tidak mengerti mengapa Sajo-san memberikannya kepadaku.
Mengapa? Saat aku memiringkan kepalaku, Sajo-san menundukkan wajahnya dengan sedikit rona di pipinya.
"...Aku hanya tidak ingin berhutang apa pun. Jadi jangan salah paham."
Ah, akhirnya aku mengerti.
Yang dia maksud adalah kejadian kemarin, saat aku membiarkan Sajo-san beristirahat di rumahku setelah dia basah kuyup karena kehujanan.
Aku tidak ingat pernah melakukan sesuatu yang membuatnya harus berhutang budi padaku. Tapi, yah, tidak apa-apa.
Apapun alasannya, bento buatan anak perempuan, apalagi yang memberikannya adalah gadis cantik.
Jadi, aku akan menerimanya dengan senang hati. Bagaimanapun, pertanyaan terbesar masih ada.
"Kenapa kamu ada di sekolah ini?"
"...Apakah kamu benar-benar tidak menyadarinya?"
Dia jengkel? Apa sih?
Saat aku memiringkan kepalaku, aku mendengar desahan jengkel. Sajo-san mengetuk meja tempat dia duduk dengan ujung jarinya.
Biasanya kursi itu kosong. Sambaran petir menyambarku saat aku memikirkan tentang anak membolos yang belum pernah terlihat sejak awal masuk sekolah. Itu mendengkur dan berkilau.
Mustahil...
Saat aku melihat ke arah Sajo-san, dia meletakkan tangannya di dadanya, yang tetap menonjol meski dia tertutup seragam.
"Sajo Hitori. Senang bertemu denganmu, tetangga-san."
Itu saja.
Hanya itu yang ingin dia katakan dan kemudian dia bangkit dari tempat duduknya. Dia meninggalkan kelas.
Saat aku memikirkan itu, dia mengeluarkan suara "ah" dan berbalik.
“Aku akan mengembalikan pakaian yang kupinjam saat pulang.”
...Jadi begitu.
Sajo-san, hanya mengatakan apa yang ingin dia katakan lalu menghilang. Aku melihat ke tempat dia berada dan mengangguk berulang kali.
Tetangga yang sangat cantik ternyata adalah teman sekelasku, dan kami juga duduk bersebelahan di sekolah, “Huhh,” itu menjadi pelajaran buat diriku.
Aku menerima peristiwa tersebut dengan sekuat tenaga yang kubisa.
“Siapa wanita cantik itu?”
“Mungkinkah itu Sajo-san?”
“Hubungan seperti apa yang dimiliki dirinya dengan Hinata?”
“Dia datang ke sekolah hanya untuk memberikan bento?”
“Oppainya gede banget!”
“-Tadi dia bilang mau mengembalikan pakaian, kan?”
“Dia bilang begitu.”
“Eh...berarti....”
“Kalian pacaran?”
“Kalian tinggal bareng?”
Aku tidak bisa berhenti berkeringat di kelas yang bising. Mudah untuk membayangkan keributan yang akan terjadi setelah ini, dan aku ingin segera melarikan diri, tapi sudah terlambat.
Kurasa itu salahku karena aku tertidur, tapi...
Jika aku melakukan itu, aku akan bisa berhati-hati agar tidak terlihat. Namun, alasan aku kurang tidur adalah karena Sajo-san, sejak awal mungkin ini yang akan terjadi. Tapi aku tidak percaya pada takdir.
Saat aku memikirkan hal ini, bayangan seperti gelombang hitam mulai mengelilingiku.
Aku penasaran, aku penasaran.
Lipat menjadi lingkaran. Di tengah bayangan yang semakin gelap, aku berpikir, “Jika ini mimpi, mungkin aku akan terbangun.” Namun, bento yang ada di mejaku bukanlah ilusi, dan aku tidak punya pilihan selain menerima kenyataan yang tak terelakkan.
■■
Aku memasukkan telur dadar yang sedikit gosong itu ke dalam mulutku dan menelannya.
Yang tersisa bagiku hanyalah menikmati satu-satunya kebahagiaan yang kumiliki, yaitu kotak bento buatan Sajo-san.
"Nee, Hinata-kun. Itu Sajo-san kan? Hubungan seperti apa yang kalian miliki? Mungkinkah kalian sepasang kekasih?"
Seorang teman sekelas perempuan, matanya bersinar terang, berbicara kepadaku. Di wajahnya yang biasanya menggemaskan, ada ekspresi besar “hubungan seperti apa!?” yang ditulis dengan rasa ingin tahu yang ceroboh.
Bukan hanya dia.
Aju dikelilingi oleh penonton, baik laki-laki maupun perempuan..
Semua orang, termasuk dia, sedang mengendus-endus wortel lezat sambil menghujaniku dengan pertanyaan. Sejujurnya, aku takut.
Di sisi lain, aku lagi makan, loh? Aku sedang makan dan tidak dapat berbicara, tahu? Aku memohon dengan putus asa. Tidak ada gunananya memasang emosi. Tidak perlu memikirkan apa pun. Yang harus kulakukan hanyalah menggerakkan rahangku. Aku tidak berniat memberikan wortel yang kumakan kepada penonton yang lapar.
Namun, meski aku tidak melakukan apa pun, teman sekelas perempuan menjadi panas, dan menjadi sulit untuk di atasi.
Gadis remaja yang memiliki mata berkilauan akibat ketertarikan tentang sebuah hubungan romantis meningkat.
Untuk lelaki yang tidak populer menatapku dengan perasaan cemburu dan iri, memperlihatkan emosinya yang berlumpur.
Satu suara dapat menyebabkan longsoran salju.
Namun, bukan berarti aman jika aku tidak melakukan apa pun.
Orang-orang yang berkumpul di sekitarku menjadi pemicu ketidakseimbangan tersebut.
"Jika dia membuatkanmu bento, berarti kalian memang pacaran, kan?"
Jika teman sekelas perempuan sudah memimpin, semuanya akan menjadi kacau.
Perlahan-lahan, teman-teman sekelasku menjulurkan kepala dan mendekatiku.
"Oi! Kapan kamu kenalan dengan gadis cantik itu!?"
"Terlebih lagi, sampai di buatkan bento...aku sangat iri."
“Padahal Sajo-san tidak perrnah masuk sekolah.”
"Jadi apa? Mau main privasi nih."
"Pdkt? Apa kamu melakukan pdkt? Kenapa kamu tidak mengajakku?"
“Di game center?”
“Atau kamu menolong Sajo-san saat dia terlibat dengan preman?”
“Apakah itu game porno?”
(Tln: apasih ni orang tiba-tiba bahas eroge :v)
“Eh? Bukankannya kebalik?”
"Itu benar. Sajo-san sepertinya tidak takut dengan preman. Jadi, Sajo-san menolong Hinata-kun yang ketakutan karena terlibat dengan preman."
“Jadi, saat dia menyelamatkan dan melihat Hinata-kun, dia jatuh cinta pada pandangan pertama?”
“Kya~~~!?”
“Tidak bisa memaafkan────!!”
Entah mengapa orang-orang menjadi semakin bersemangat.
Baik perempuan maupun laki-laki. Reaksi mereka terlalu berlebihan.
Terlebih lagi, aku sudah muak dengan kisah cinta yang 100% ilusi dan tidak ada benarnya ini.
Lagipula, apa aku perlu di selamatkan...
...Tidak, yahh. Mana kejadian yang lebih mungkin, akulah yang membantunya. Aku tidak bisa menerimanya.
Ada rumor yang mengatakan bahwa ekor dan sirip punggung menempel pada ikan tersebut, namun aku tidak pernah menyangka akan melihat ekor dan sirip punggung menempel tepat di depan mataku. Jika dibiarkan, kemungkinan besar ikan tersebut akan berevolusi menjadi naga.
Bagaimanapun juga, jika aku mengatakan bahwa hal itu tidak benar, jelas mereka akan mendatangiku dan bertanya, “Lalu, apa yang sebenarnya terjadi!?”
Tidak mungkin aku bisa mengatakan bahwa aku telah membiarkan Sajo-san menginap di kamar apartemenku semalam... Pada akhirnya, aku tidak punya pilihan selain tutup mulut.
"Sudah seberapa jauh kalian melangkah?"
Kata teman sekelas perempuan yang memimpin tadi. Dia bertanya penasaran, dengan asumsi bahwa kami berpacaran.
“Apakah kalian sudah pegangan tangan?”
"Kalau ciuman?"
“Atau… lebih jauh lagi?”
"Oi, apakah kamu sudah meremasnya? Apakah kamu meremas payudaranya yang brutal itu!?"
"Uwahh...kalian terlalu putus asa. Lelaki yang terburuk."
"Tidak, itu tidak benar...! Aku hanya memastikan faktanya... Kan!?"
Tolong jangan minta persetujuanku.
"Yah, aku tahu kamu penasaran."
“Bahkan dari sudut pandang wanita, itu sangat besar.”
“Sungguh menakjubkan, bukan?”
“Ya, sungguh menakjubkan.”
“Aku ingin meremasnya juga.”
"Kalau begitu, berarti..."
“Apakah kamu meremasnya?”
“Kamu meremasnya, kan?”
“Tidak mungkin kamu tidak meremasnya.”
Para lelaki melipat tangan mereka dan mengangguk penuh semangat.
Salah satu dari mereka, berkacamata, berbicara pelan dengan lensanya yang bersinar terang.
"...Apakah kamu sudah menjepit anumu?"
(Tln: ngapa karakter megane selalu begitu ya...)
"Apa…!?"
Kejutan menjalar ke dalam tubuhku, seperti sengatan listrik.
"Itu bohong, kan?"
"Bisakah itu dilakukan?"
"Bukankah itu hanya fiksi?"
"Tidak, tapi jika segede itu..."
"Bukannya malah bakalan ke kubur?"
Meskipun dia berbicara pelan, suaranya jelas.
Mereka tidak menyadari bahwa para gadis sedang menatap para lelaki yang serius membicarakan fantasi kotor mereka dengan tatapan tajam.
Tapi aku penasaran? Seorang teman sekelas perempuan berbisik kepadaku.
“Jadi, apakah kamu sudah mencubitnya?”
“Bisakah kamu berhenti membicarakan hal kotor saat orang sedang makan?”
Tidak ada jepitan atau cubitan.
Selain itu, apakah kamu pikir aku akan menjawab jika seorang gadis menanyakan hal itu? Meskipun yang bertanya laki-laki aku tidak punya niat untuk menjawabnya, tolong lebih bersikap seperti seorang gadis.
Huhhhh
Aku sudah kelelahan. Aku tidak ingin dijadikan mainan teman sekelasku lagi, tapi sayangnya sepertinya aku tidak punya hak untuk memvetonya.
Bahkan di jaman sekarang yang dipenuhi dengan beragam hiburan, nampaknya kisah cinta lah yang menyulut rasa penasaran para remaja.
Sajo-san dan aku tidak sedang jatuh cinta, kami hanya bertetangga di apartemen.
Namun, bagi teman sekelas yang hanya melihat fakta bahwa dia menyerahkan bento kepadaku, kami adalah pasangan kekasih.
Aku juga akan berpikir begitu jika berada di posisi mereka.
Aku tidak bisa menahan mereka. Namun aku ingin meminta mereka agar bersikap lebih tenang.
Saat aku sedang makan siang, merasa muak dengan situasi yang kurang memuaskan, anak laki-laki yang mengerang setelah kalah dalam permainan batu-kertas-gunting berseru, “Oi,” dia memanggilku.
Aku memelototinya dengan mata dingin, tapi dia sepertinya benar-benar fokus pada pertanyaan itu, dan bertanya padaku dengan suara rendah tanpa menyadari suasana hatiku yang sedang buruk. Suaranya tumpang tindih dengan suara terengah-engah anak laki-laki lainnya.
“Apakah kamu sudah berhubungan seks?”
“Apakah kamu ingin aku marah?”
Jika kalian bersemangat ingin membahas cerita vulgar, tolong jangan libatkan aku.
Aku bisa mengerti kalau laki-laki menyukai lelucon kotor, tapi ada perempuan juga di sini, dan itu bukanlah sesuatu yang bisa di tanyakan saat perhatian seluruh kelas sedang terkumpul. Lagian, bahkan jika memang memiliki hubungan seperti itu, siapa juga yang mau menceritakan hal privasi seperti itu pada teman sekelasnya?
"Ah, udah lah, lenyaplah kalian para peganggu!"
“Eh.”
“Pelit.”
“Dasar pengecut”
“Dasar pengkhianat.”
Teman sekelasku benar-benar yang terburuk.
Terlebih lagi para laki-laki, perempuan juga sama saja.
Aku mendorongnya menjauh, dan dia menggerutu sambil berjalan pergi.
Aku menyerah. Juga, jika tidak segera makan, istirahat makan siang akan segera berakhir.
Teman-teman sekelasku, yang berkumpul di sekitarku sampai beberapa saat yang lalu, menata meja mereka dan mulai meletakam bento dan camilan mereka. Namun, topikku sepertinya terus berlanjut, dan mereka diam-diam mulai bergosip sambil menatapku. Dasar para remaja sialan.
"Ya ampun…..."
Aku memakan gurita bakar yang sedikit gosong. ...Mengapa gurita asli dan bukan sosis berbentuk gurita? Apakah itu makanan favoritnya?
Sangat aneh. Tapi yah, ini enak, jadi tidak masalah. Lagipula, aku tidak bisa mengeluhkan pemberian yang kuterima dengan senang hati.
Bahkan jika ada yang bertanya padaku hubungan seperti apa yang kami miliki...
Sejujurnya, aku hanya bisa menjawab bahwa dia adalah tetanggaku Dalam arti ganda.
Kemarin malam, aku meminjamkan kamarku sebentar. Itu adalah peristiwa istimewa dan berkesan yang menyimpang dari kehidupan sehari-hari kami, tapi hanya itu. Hanya itu yang telah kami lakukan.
Aku tidak ingin berhutang budi. Seperti yang dikatakan Sajo-san, tidak boleh lebih atau kurang dari itu.
Selain itu, bento ini sudah cukup untuk imbalan untuk meminjamkan kamar untuk meneduh dari hujan. Malahan, aku berpikir ini lebih dari cukup.
Oleh karena itu, hubungan antara aku dan dia tidak bsrubah.
Hanya tetangga. Tidak lebih dari itu, hanya saling berpapasan lalu menyapanya lalu dia mengabaikanku. Agak menyedihkan.
Yah, tidak peduli berapa banyak fakta yang kusebutkan, teman-teman sekelasku tidak akan percaya.
Apakah seorang tetangga akan membuatkan bento? Itu mustahil. Kalau begitu, jelas itu cinta. Ketika aku dengan jujur menjawab bahwa kami tidak berkencan, dia berkata, “Kalau begitu, nyatakan perasaanmu! Kami akan mendukungmu!” mereka mulai memutuskan hal yang bukan urusan mereka.
Di balik topeng yang terpampang di wajahku, aku sedang membakar kayu di atas api yang disebut rasa penasaran.
Lagi pula, mereka hanya peduli dengan hal yang menyenangkan, dan bagi mereka fakta hanyalah hal-hal sepele.
Aku tidak tahan menjadi bahan gosip.
Oleh karena itu, lebih baik diam saja dan menunggu api mereda secara alami. Minat siswa SMA cenderung mudah berubah.
Jika ada topik lain untuk dibicarakan, aku akan terbang tanpa mengedipkan mata, seperti lebah yang berkerumun di sekitar bunga.
...Tapi jika topik pembicaraannya adalah tengangku, aku tidak punya pilihan selain tutup mulut. Apakah seseorang akan mengungkapkan perasaannya di bawah pohon sakura yang legendaris. Tidak ada yang mamanya pohon sakura yang legendaris.
"Hinata-kun. Apakah kamu menggunakan mainan seks?"
Bisa diam?
■■
Aku berhasil melewati waktu makan siang yang seperti waktu jizo Kemudian, saat sekolah berakhir, aku berlari keluar kelas dan lari dari penonton.
Aku merasa seperti ada yang berteriak di belakangku, tapi itu pasti hanya imajinasiku saja.
aku sangat lelah hari ini...
Lanjutan dari kemarin, rasa penatku seakan tak bisa hilang dan masalah terus saja terjadi. Aku tidak ingin hal lain terjadi lagi. Licht-kun lelah baik secara fisik maupun mental.
(Tln: tiba² muncul nama baru jir)
"Aku ingin pulang dan tidur..."
Saat ini sudah lewat pertengahan Juni dan matahari semakin lama semakin panjang. Hari masih terang dan masih terlalu dini untuk tidur, tapi aku yakin aku akan langsung tertidur begitu aku terjatuh ke tempat tidur.
Tapi yah, aku harus mengganti bed covernya. Kalau tidak, aku akan kurang tidur lagi.
Musim hujan baru saja dimulai. Hari ini tidak hujan, tapi warna biru lautnya tersembunyi di balik awan tebal. Iklimnya menyenangkan tanpa sinar matahari. Namun, udara lembab dan lengket di sekitarku menguras staminaku bahkan saat aku hendak meninggalkan sekolah.
Apartemen mulai terlihat.
Meski lelah, aku mulai berjalan cepat, bertekad untuk kembali ke kamarku secepat mungkin. Langsung ke pintu masuk.
Di depan pintu auto-lock, aku memasukkan tanganku ke dalam tas sekolah yang kubawa di bahuku dan mencari kunci kamar apartemen.
Seharusnya aku meletakkannya di tempat yang sama seperti kemarin. Saat aku meraba-raba tanpa melihat ke dalam, pintu kaca itu terbuka dengan sendirinya.
Rupanya seseorang datang dari seberang.
Nice timing. Aku mengeluarkan tanganku dari tas dan mendongak untuk melompat melalui pintu yang terbuka. Mataku melebar saat melihat seorang wanita berjalan di hadapanku.
Sajo-san...?
Aku mendongak dan tidak bisa menahan diri untuk tidak menatapnya.
Mereka terlihat sangat mirip. Mereka sangat mirip sehingga aku mengira dia adalah Sajo-san.
Namun, aku langsung tahu bahwa itu adalah orang lain.
Kunci rantai tanpa riasan terbuat dari bahan berkualitas tinggi.
Berbeda dengan Sajo-san, wajahnya ditutupi riasan. merah basah di pipinya terlihat seksi. Parfum yang menyengat hidung tercium begitu sempurna hingga membuat alis berkerut.
Berbeda dengan Sajo-san yang hanya sampai bahu, rambut hitamnya memanjang hingga pinggang.
Tapi hal yang membuatku sadar bahwa itu adalah orang lain adalah raut wajahnya.
Cara dia mengangkat pipinya dan tersenyum lebar, dia tidak mirip dengan Sajo-san.
Berbeda dengan Sajo-san yang acuh tak acuh terhadap orang lain. Secara sadar laki-laki yang melihatnya berhasil di sesatkan. Ada suasana magis yang sulit dijelaskan.
"Selamat siang."
"……Selamat siang."
Saat kami berpapasan, dia memberiku senyuman berkilau.
Aku tidak sepenuhnya terpikat padanya, tapi aku tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya. Aku mengangguk kecil dan mengikuti wanita itu dengan mataku saat dia berjalan pergi.
Kakiku terhenti. Aku berbalik. Aku hanya menatap punggungnya saat dia berjalan pergi.
"Ibunya…?"
Kata-kata yang keluar dari mulutku terasa aneh, tapi itulah yang aku rasakan.
Menurutku dia bukan kakak perempuannya... Dia masih terlalu muda untuk menjadi seorang ibu, tapi menurutku gadis di usia itu tidak akan bisa menunjukan pesona itu.
Di kepalaku, aku membandingkan Sajo-san dengan wanita yang baru saja pergi.
Mereka mempunyai penampilan yang sangat mirip. Namun, mereka sangat bertolak belakang dalam segala hal mulai dari riasan, ekspresi wajah, dan suasana.
Meskipun mereka terlihat sangat mirip, seperti saudara kembar, aku sedikit terkejut karena gambaran mereka sangat berbeda.
Untuk beberapa alasan, aku berpikir bahwa dia tidak akur dengan Sajo-san. Tidak ada dasar. Hanya perasaan samar-samar.
Mungkin.
Hari itu, saat dia tidak kembali ke kamar apartemennya meski dia basah karena hujan, mungkin wanita itulah penyebabnya.
Tentu saja ini juga tidak berdasar. Ini tidak akan ada habisnya.
"Ya udahlah."
Itu juga bukan urusanku.
Aku berhenti berpikir dan keluar dari pintu masuk. Aku masuk ke lift yang menungguku di lantai pertama dan tiba di kamar apartemenku, tapi....
"..."
...Ada.
Ada seorang gadis berjongkok di depan pintu masuk sambil memegangi lututnya.
Adegan ini membuatku deja vu.
Bedanya, dia berjongkok di depan pintuku, bukan pintu kamar sebelah.
Apa maksudnya? Tasku hampir jatuh dari bahuku.
Saat aku berdiri tertegub dan tidak dapat memahami situasi saat ini, Sajo-san mengangkat wajahnya yang tertunduk.
Mata kami bertemu. Kemudian, aku merasakan matanya, yang tadinya gelap dan kosong, sedikit mengendur. Aku merasa malu karena memikirkan itu di dalam hatiku.
Terlalu berlebihan bagi seorang pria untuk berpikir bahwa dia bahagia karena aku kembali.
Saat aku tenggelam dalam kebencian pada diri sendiri, Sajo-san membuka bibir tipisnya dan berbicara dengan suara yang jelas.
"……Selamat datang kembali."
“A-aku pulang?”
Saat aku menjawab dengan reflek, dia bertanya, "Kenapa nadanya malah seperti pertanyaan?"
Sudah lama sekali aku tidak mendengar ucapan selamat datang kembali. Entah kenapa, orang yang mengatakan itu adalah tetanggaku.
Untuk beberapa alasan, dia berada di depan pintu masuk kamar apartemenku.
■■
"Aku ingin mengembalikan ini."
Apa yang diberikan kepadaku saat dia masih berjongkok memegangi lututnya adalah sebuah kantong plastik genggam seperti yang biasa kamu dapatkan dari tempat laundry.
Ah. Saat aku menerimanya dan membuka tasnya, di dalamnya ada hoodie dan kaus yang kupinjamkan padamu kemarin.
"Aku sudah mencuci dan menyetrikanya."
"...Padahal tidak apa-apa jika kamu mengembalikannya dalam keadaan kotor."
Sebaliknya, aku merasa tidak enak.
Saat aku mengatakan itu, entah kenapa dia melihatku seperti dia sedang melihat sampah.
"Menjijikan... Apa? Apa kamu mempunyai hobi seperti itu?"
"Hah?"
Untuk sesaat aku tidak memahaminya. Itu benar-benar kejutan.
Kenapa tiba-tiba. Kupikir dia hanya ingin menghinaku, tapi kemudian aku menyadari arti kata-kata Sajo-san dan darahku mendidih.
“Tunggu sebentar!? Sepertinya kamu membuat kesalahpahaman yang aneh, bukan!?”
Mungkin dia berpikir aku adalah orang mesum yang mencoba mengoleksi pakaian yang dikenakan wanita tanpa mencucinya. Apa-apaan ini.
Tidak tidak! Aku melambaikan tanganku ke udara dan menyangkalnya, tapi hasilnya malah semakin buruk. Setiap kali aku menyangkalnya dengan keras, matanya menjadi semakin menatapku dengan jijik dan tajam, dan itu membuatku merinding.
Bukan itu maksudku.
Memang benar, ini adalah pakaian yang di kenakan Sajo-san kemarin, tapi agak aneh bagiku memakai pakaian ini meski sudah dicuci.
“──Aku tidak akan mencium baunya!”
Aku menegaskan.
Namun, dia memandangku seolah aku adalah bajingan, Sajo-san menutupi bagian atas wajahnya dengan bayangan dan menatapku dengan jijik, memanggilku “...Cabul.”
Are? Apakah aku melakukan sesuatu yang salah?
Memaafkan diri sendiri itu sulit. Dosa palsu tidak akan pernah hilang dari dunia ini.
Terlepas dari apakah label mesum itu salah paham atau bukan. Aku tidak tahan lagi melihat tatapannya kepadaku, jadi aku segera memalingkan wajahku.
Aku terbatuk dan berdehem.
Meski tatapan yang menusukku seperti duri tetap sama, aku memaksakan diri untuk mengganti topik pembicaraan.
Di saat seperti ini, yang penting adalah mengubah arah, betapapun terang-terangannya. Anggap saja percakapan tidak menyenangkan itu tidak pernah ada.
"Terima kasih untuk kotak makan siangnya. Itu sangat enak."
Aku merasakaj dia bergeeak sedikit, aku tersenyum dan berterima kasih padanya, dan rasa jijik dalam tatapannya sedikit berkurang.
Dia memainkan ujung rambutnya dengan jarinya.
"...Aku tidak butuh pujian. Hentikan. Aku tahu aku tidak melakukannya dengan baik."
Dia mengatakannya seolah dia tidak percaya diri.
Yahh. Tamagoyakinya gosong, dan entah kenapa aku terkejut karena isinya gurita bakar, bukan sosis gurita.
"Itu lezat, tahu?"
“Malahan aku berharap bisa memakannya setiap hari,” saat aku mengatakan itu dengan jujur, matanya menyipit.
"Apa itu? Lamaran? Bisa-bisanya kamu mengatakan hal seperti itu pada wanita yang baru kamu temui. Apa kamu playboy atau semacamnya?"
"Bukan...!?"
Aku menyadari kesalahanku dan segera memperbaikinya.
"Bukan itu maksudku! Maafkan aku, kata-kataku salah. Tolong jangan menjauhuku, mata kasar itu menusuk sampai ke dalam hatiku...! Mentalku akan hancur!"
Jika dipikirkan dengan baik-baik, itu adalah kalimat yang mirip seperti pengakuan cinta.
Jahatnya. Aku sendiri juga berpikir begitu. Sebuah kesalahan menyebabkan kecelakaan besar. Aku ingin menutup mulutku yang terus menerus mengatakan hal yang tidak perlu.
Keringat tidak menyenangkan mengalir di punggungku. Aku ingin kabur ke rumahku, tapi saat ini, pintu depanku terhalang oleh kunci yang tersembunyi. Tidak ada jalan untuk kabur.
"Dan ngomong-ngomong."
Aku mengalihkan pembicaraan dengan paksa. Perubahan arah yang kedua kalinya.
Selain itu, aku mengingat sesuatu yang membuatku penasaran, jadinya ini sangat pas.
"Mengapa ada gurita di dalam bento?"
"Mengapa……?"
Lauk yang membuatku penasaran sejak aku membuka bentonya.
Aku mencoba bertanya kepadanya, tetapi Sajo-san sedikit memiringkan kepalanya, seolah dia tidak mengerti maksud pertanyaannya.
Ah, itu lucu.
Ini sedikit berbeda dari saat dia bersikap dewasa. Hatiku berdebar-debar melihat sikap kekanak-kanakan Sajo-san. Terkadang wanita menunjukan sikap kekanak-kanakan...
"...Bukankah gurita adalah lauk standar yang di gunakan untuk bsnto?"
"Tidak, itu..."
Entah mengapa reaksinya aneh. Sepertinya dia tidak bercanda.
Jangan-jangan? Begitu kecurigaan tertentu muncul, akan sulit untuk menunjukkannya. Tidak, tapi... ya?
Haruskah aku mengatakannya atau tidak? Saat aku mengelus pipiku dan memikirkannya, Sajo-san, yang alisnya berkerut, buru-buru bertanya padaku, "Apa? Jika ada yang ingin kamu katakan, katakan saja dengan jelas.” Baiklah, aku menyerah saja..
"Yah, meskipun gurita itu gurita, tapi yang di maksud itu sosis gurita, jadi menurutku orang-orang tidak memasukkan gurita asli ke dalam lauk bento mereka."
Terlebih lagi gurita bakar. Aku belum pernah melihat atau mendengarnya. Mungkin camilan saat minum sake? Tapi itu enak.
Pertanyaanku terlalu blak-blakan dan terlalu menyampaikannya terlalu blak-blakan. Seolah baru menyadari sesuatu, wajah Sajo-san memerah, seperti terbakar.
Dia sangat putus asa dan mencoba untuk bergerak mundur. Namun, di belakangnya ada tembok yang disebut pintu masuk. Dia tidak dapat mundur, Sajo-san menoleh ke samping untuk menghindari tatapanku.
"B-bukan begitu...! Aku tidak tahu itu. Aku tidak tahu itu. Aku tidak pernah membuat bento, jadi kupikir itu aneh, tapi ternyata itu memang aneh... Oagipula gurita... Sudah cukup."
Mungkin dia menjadi semakin malu saat membuat alasan, dan wajahnya yang berkulit putih menjadi matang seperti buah merah.
Dia menyembunyikan wajahnya menggunakan lutut yang dia pegang. Sepertinya dia tidak sanggup lagi menahan rasa malunya.
Wajar... Atau mungkin dia mulai kehilangan akal sehat?
Dia mendapatkan informasi dari internet dan buku dan tidak memiliki pengalaman nyata, dan aku merasa dia seperti seorang ojou-sama.
Apakah sosis gurita-san sudah menjadi rahasia umum atau tidak, masih diperdebatkan. Tidak, siapa juga yang ingin melakukan diskusi bodoh seperti itu, bukan?
"Ya, tapi menurutku gurita bakar baik-baik saja. Itu juga enak, dan karena sudah matang, menurutku cocok untuk bento, kan? Gurita-san akan menjadi lauk standar baru untuk bento, menggantikan sosis!"
"...Apakah kamu mengejekku? Kamu benar-benar yang terburuk."
Komunikasi itu sulit.
Saat aku memikirkan apa yang harus aku lakukan terhadap Sajo-san, yang mulutnya tertutup seperti cangkang dan menunduk, ada seorang nenek melewati lorong menyapa, “Selamat siang.”
"Selamat siang."
Bertemu dalam situasi yang tidak menyenangkan. Aku agak sedikit bersemangat saat membalas salamnya, dan dia menertawakanku.
Agak memalukan.
Tampaknya hal yang sama juga terjadi pada Sajo-san, yang bahunya bergoyang-bergoyang. Tengkuknya yang berwarna merah, mengintip dari sela-sela rambut hitamnya.
"..."
"......Ah, ya?"
Ini... canggung.
Suhu tubuhku naik karena malu dan gugup. Begitu mulai terdiam, dibutuhkan keberanian untuk mulai berbicara. Aku sedang mencari topik yang nyaman untuk dibicarakan. Topik yang paling tepat dan terkuat untuk kondisi seperti ini adalah cuaca? Mendung, bukan? Haha...percakapannya tidak akan meluas sama sekali, tapi mungkin juga dianggap sebagai metafora kelam untuk suasana yang berat.
Dalam upaya untuk memperbaiki suasana, aku berhasil menyampaikan urusan yang kuingat.
“Aku akan mencuci kotak makan siangnya dan mengembalikannya nanti…!”
“…Jangan lakukan hal aneh seperti itu.”
Ditolak. Mengapa?
Dia mengulurkan tangannya yang memegang lututnya. Telapak tangan menghadap ke atas. Rupanya dia memintaku untuk mengembalikan kotak bento.
"Tidak, tapi, kamu sudah membuatkanku bento, aku minta maaf karena kamu juga harus mencurinya."
"……yaYa"
Tekanan diam. Ujung jariku bergerak sedikit.
Ah, aku menghela nafas. Aku tidak tega membiarkannya terus berjomgkok di sini, bersikap keras kepala hanya akan menimbulkan lebih banyak masalah.
Aku mengeluarkan tas serut berisi kotak bento dari tas sekolahku dan dengan lembut meletakkannya di telapak tangannya.
Kemudian, Sajo-san meraih tas itu dengan kedua tangannya dan menggoyangkannya perlahan ke atas dan ke bawah. Suara ringan dan kosong terdengar.
Gadis itu, yang sedang memeluk lututnya dan memiliki sedikit emosi, mengendurkan pipinya dengan sedikit kebahagiaan.
"──"
Ekspresi wajahnya menarik perhatianku sejenak.
Wajah yang memadukan kefanaan dan keindahan, seperti bunga di ambang jatuh. Dadaku sesak. Ada kata seperti itu, tapi aku tidak merasakan sakit sama sekali.
Namun, semua itu terjadi dalam sekejap mata.
Senyuman menghilang dari wajahnya, seolah itu hanya ilusi.
Ada aura gelap di Sajo-san yang melambangkan bahwa dia sudah menyerah dalam segala hal.
"Aku sudah menyelesaikan urusanku."
Seperti yang dia katakan, hanya itu yang dia butuhkan.
Sajo-san, yang tidak bergerak seperti anak kecil yang tertidur, berdiri dengan mudah seolah-olah pasak yang mengikatnya telah terlepas.
Kemudian, saat dia hendak melewatiku, dia berhenti.
"...Aku akan membawanya juga besok. Aku tidak peduli kamu menunggu atau tidak."
Itu saja.
Sajo-san tidak berkata apa-apa dan menghilang ke kamar sebelah.
Melamun. Aku tertegun beberapa saat, tapi setelah dia pergi, aku tiba-tiba tersadar.
Akhirnya aku mengerti apa maksud dari kata-kata Sajo-san, saking terkejutnya, suaraku sampai bergetar.
"...Eh? Apakah besok siang dia juga akan mengantarkan bento untukku?"
Repot-repot? Ke kelas saat istirahat makan siang? Sajo-san yang bahkan tidak pernah datang ke sekolah?
Mengapa. Ya, sudah terlambat untuk bertanya.
Tentu saja, hal itu tidak pernah sampai pada Sajo-san.
■■
Saat idtirahat makan siang. Sajo-san yang matanya terlihat mati datang untuk memberikanku bento.
"Ini."
Aku menerima tas serut itu dengan lembut. Aku mengatupkan gigiku dan menegangkan alisku. Aku senang, tapi ada perasaan yang tak terlukiskan tersangkut di tenggorokanku.
Seminggu telah berlalu sejak aku mulai menerima makan siang dari Sajo-san.
Namun, , apakah aku terbiasa.menerima bento dari Sajo-san tanpa melakukan sesuatu untuknya, itu tidak benar.
Semua orang memandang dengan tatapan penasaran, Sajo-san hanya datang saat istirahat makan siang, memberikanku bento, lalu pulang. Sebuah bisikan kecemburuan disertai gertakan gigi.
Menerima makan siang dari seorang gadis adalah peristiwa besar dalam kehidupan SMA-ku, tapi itu terlalu membebani mentalku, karena aku tidak pernah memiliki hubungan apa pun dengan wanita.
Aku merasa seperti akan dihancurkan oleh perasaan berat sebelah dan ketegangan menjadi pusat perhatian di kelas.
Aku bernuat menolaknya saat dia memberikan bento untuk kedua kalinya, tapi...
Hatiku terasa sakit, setiap kali aku menerima bento aku selalu berpikir, “Ini harus menjadi yang terakhir.”
Namun, tidak ada perasaan, hanya pertukaran sederhana, hanya hubungan memberikan bento, aku ingin memberitahunya, “Kamu tidak perlu membuatnya dan datang lagi, tahu?” Sama seperti mas-mas pengantar paket yang mengantarkan barang lalu bergegas pulang, tidak ada celah.
“Aku merasa tidak enak kalau kamu mengantarkannya terus, setidaknya biarkan aku mengambilnya saat pagi, oke?”
Setidaknya, sungguh.
Sebuah perlawanan kecil untuk mengurangi beban hatiku.
Jika dia setuju, aku tidak akan merasakan perasaan bersalah karena dia repot-repot menggerakan kakinya hanya untuk mengantarkan bento kepadaku. Pada saat yang sama, tidak akan ada lagi lirikan dari teman sekelas yang penasaran.
Aku pikir ini adalah tawaan yang saling menguntungkan. Malahan ini hanya ada keuntungan, tidak ada yang di rugikan.
Namun, Sajo-san menambahkan bayangan pada ekspresinya yang sudah gelap, menciptakan suasana yang lebih suram. Tubuhku menegang karena rasa jijik yang datang hanya dari atmosfer.
"…………Pagi,……"
Suara menyakitkan terdengar seolah-olah keluar dari tenggorokan yang kering. Kata-kata itu tidak bertahan lama. Aku merasa kerutan pada blus di sekitar dadanya yang dipegangnya erat-erat adalah tanda sakitnya hatinya.
"...Begitu. Ya. Kurasa aku mengatakan sesuatu yang tidak perlu."
Rasanya seperti aku menyentuh luka yang belum kering, dan itu membuatku merasa tidak enak, seolah aku mendapatkan hukuman karena melakukan hal buru. Tidak masuk akal untuk mengatakan tidak menebak.
Aku tidak percaya ada suasana seperti ini, tidak ada alasan dia susah bangun di pagi hari. Aku juga ingin melihat Sajo-san yang baru bangun tidur.
"Jika tidak ada apa-apa lagi, aku akan pulang."
Percakapan kami berakhir, dia berbalik dan pulang.
Apa yang bisa kurasakan dari belakangnya adalah kurangnya minat terhadap dunia luar.
Betapapun anehnya dan tidak lazimnya tindakannya, dia bisa tetap tenang karena tidak peduli dengan pendapat orang di sekitarnya.
(Tln: cuman mau ngasih tau, mungkin beberapa dialog gak jelas, penyebabnya adalah karena bahasa ni novel lumayan sulit dan ilmu gw belom nyampe, dan gw lagi gak mood gara² word gw frame, dah gitu aja)
Dia tidak hanya acuh tak acuh terhadap orang lain, tetapi juga terhadap dirinya sendiri.
Seolah dia bertahan hidup hanya karena jantungnya berdetak.
Aku rasa ini bukanlah pertimbangan yang sepenuhnya di luar topik.
Namun, jika itu masalahnya, apakah bento yang di tanganku ini diperlukan Sajo-san untuk bertahan hidup?
Sajo-san mengatakan dia tidak ingin berhutang apapun. Apakah ini semacam naluri defensif bahwa dia tidak ingin menjalin hubungan dengan orang lain?
Lunasi hutang dan hapus.
Namun, hal itu saja tidak dapat menjelaskan situasi saat ini.
Kalau pertukaran harus seimbang, maka hutangku sudah terlalu berat. Timbangannya miring ke sisi yang berlawanan.
Membiarkannya meneduh dari hujan selama satu hari tidak sebanding dengan bekal makan siang selama seminggu.
Atau mungkin.
Bagi Sajo-san, apakah yang terjadi hari itu dan pada saat itu begitu berharga sehingga dia harus berbuat sejauh ini? Membuatkanku bento meski dia tidak biasa membuatnya. Mengantarkannya setiap hari, itu semua sudah berharga.
Tidak peduli seberapa banyak aku memikirkannya, aku tidak dapat menemukan jawabannya. Aku berpikir ini dan itu, dan pikiranku terus berputar-putar dan aku tidak pernah sampai pada jawabannya.
Tapi yan. Meski aku tidak tahu banyak, ada satu fakta yang bisa aku tegaskan.
"Nee? Apakah kamu beneran tidak pacaran dengan Sajo-san?"
"Tidak."
Kami tidak berpacaran.
■■
Bagiku yang tidak bekerja paruh waktu. Uang kiriman dari orang tuaku adalah segalanya. Dari situlah uang jajanku berasal.
Jika aku belanja terlalu banyak uangnya akan berkurang, sebaliknya jika aku menabungnya itu akan beetambah.
Banyak siswa yang tinggal jauh dari orang tuanya mungkin ingin mendapatkan uang tambahan dan menggunakannya untuk bersenang-senang.
Jadi, sudah hampir menjadi rutinitasku sehari-hari untuk pergi ke supermarket ketika hendak tutup dan membeli bento yang ada stiker diskonnya. Ada kerugiannya yaitu waktu makan malam akan terlambat, tapi...harganya diskon setengah harga.
Saat berada di dalam toko, yang terang benderang oleh lampu neon, perasaan tentang siang dan malam menjadi kacau.
Toko itu terang seperti siang hari, tapi seperti yang diharapkan, hanya ada sedikit pelanggan karena mendekati waktu tutup. Namun, sejumlah nenek telah berkumpul, mengikuti di belakang petugas toko yang mengenakan katsupogi dengan mengenakan stiker diskon dengan mata melotot. Hanya di sana, kepadatan penduduk di dalam toko tergolong tinggi.
(Tln: katsupagi adalah pakaian Koki jepang tradisional)
Untuk sesaat, aku hendak melangkah maju untuk bergabung dengan para nenek itu, tetapi aku segera berubah pikiran.
Aku sangat tertarik dengan diskon tambahan, tapi ini sudah larut malam.
Jika aku menunda makan malam lebih jauh lagi, aku tidak akan bisa bangun besok pagi.
Rambutku ditarik ke belakang. Namun, aku terus berjalan melintasi lantai putih mulus dan mengilap menuju tujuanku, toko bento.
Dan.
""Ah.""
Hanya satu kata, satu suara tumpang tindih.
Seolah terpantul di cermin, orang yang menatapku dengan mulut terbuka berbentuk huruf 'a' kecil adalah Sajo-san.
Dia memegang keranjang belanja di satu tangan dan mengambil sekantong sosis dengan tangan lainnya.
Bahan-bahan seperti ayam, telur, dan tomat dimasukkan ke dalam keranjang belanja.
Apakah ini itu?
"Bahan membuat bento...?"
Mendengar pertanyaanku yang tiba-tiba, sudut bibir Sajo-san sedikit turun. Mungkin dia sedang memikirkan alasan, tapi bibirnya tetap terikat dan dia tidak bergerak. Namun, kata-kata yang keluar seiring berjalannya waktu,
“Iya benar.”
Itu adalah penegasan yang sepertinya sulit untuk diucapkan. Sepertinya dia sudah menyerah.
Untuk beberapa alasan, aku menemukan adegan canggung yang seharusnya tidak aku lihat. Ada kecanggungan pada diriku, seolah-olah aku sedang mengintip ke dalam kain tenun burung bangau.
(Tln: mengintip ke dalam kain tenun angsa itu dongeng jepang, pernah muncul di Doraemon juga)
Meskipun ekspresinya tidak berubah, aku dapat melihat mata Sajo-san bergerak-gerak dan dia bingung. Mungkin karena dia biasanya kurang memiliki ekspresi wajah, seperti permukaan air yang tenang, perubahan sekecil apa pun akan membuat perubahan emosinya terlihat.
Mungkin sebaiknya aku berpura-pura tidak melihatnya dan segera menjauh.
Memikirkan hal ini, aku mencoba untuk berbalik, tapi kemudian aku menyadari sesuatu dan mengeluarkan suara terkejut lagi. Terlebih lagi, kali ini darahku terpacu.
“Biaya bahan……”
Bahu Sajo-san bergerak-gerak.
Aku benar-benar lupa.
Ya, tidak ada yang bisa muncul dari ketiadaan, dan seekor angsa tidak bisa bertelur emas.
Jika itu masalahnya, wajar jika Sajo-san berbelanja seperti ini, dan itu membutuhkan uang.
Aku mengacaukannya. Aku menutup mulutku. Aku heran dengan kebodohanku sendiri.
“Tidak masalah, kan?”
Sajo-san tampaknya tidak keberatan.
L Sebaliknya, aku penasaran tentang dua bungkus sosis yang dia ambil, dan dia bingung akan mengembalikannya atau tidak.
Tapi itu benar.
Walaupun dia tidak peduli, aku peduli. Sangat memperdulikannya.
Jadi, dengan sedikit tenaga, aku merampas keranjang belanjaan Sajo-san.
"……,……Apa?"
Sajo-san menjadi kaku sesaat karena tindakanku yang tiba-tiba.
Namun, dia langsung memelototiku dengan tatapan menyalahkan. Matanya melotot seperti mata kucing yang mengancam. Meskipun aku terintimidasi oleh ketajamannya, aku sudah bertekad melindungi keranjang belanja yang aku curi, aku tidak akan menyerah pada hal ini.
“Ini bahan untuk membuat bento kan? Kalau begitu, wajar jika aku yang membelinya.”
"...Oke. Hentikan."
Entah kenapa, kupikir dia akan mengatakan itu.
Aku melakukannya karena aku ingin melakukannya. Jangan ikut campur. Hanya dengan melihat ekspresi wajahnya, aku bisa mengetahui keinginannya tanpa perlu mendengar kata-katanya. Meski sulit dimengerti, dia adalah gadis yang mudah dimengerti. Dia juga anak yang menyusahkan.
"Tidak."
Aku mengambil sosis dan melemparkannya ke keranjang belanjaan yang aku curi.
Aku sadar sepenuhnya itu bukan gayaku, tapi aku tidak terlalu keras kepala untuk merasa nyaman di sini.
Aku tidak akan mundur dari sini.
Saat aku balas menatapnya seolah ingin menyampaikan maksudku, Sajo-san menyipitkan matanya lebih tajam lagi. Aku mengatakan ini kepada Sajo-san, yang memancarkan rasa kesal yang tajam.
“Ini salahku karena tidak memikirkan biaya bahan, tapi sebaliknya itu malah membuatku merasa tidak nyaman. Jika kamu tidak ingin meminjam uang, bisakah kamu setidaknya membiarkan aku membayarnya?”
"..."
Sajo-san tetap diam.
Alisnya berkerut dan matanya menjadi lebih tajam.
Kami terus saling menatap selama beberapa saat, tapi Sajo-san menghela nafas seolah dia sudah menyerah. Aku tidak mundur dan mungkin mengira itu adalah pertukaran yang sia-sia.
"Lakukan sesukamu."
Cara bicara yang membuatku menjauh.
Namun, Sajo-san berjalan menjauh, dan aku mengepalkan tinjuku dengan sedikit rasa puas.
Tetap dalam suasana hati yang buruk.
Aku mengejar yang berjalan perlahan dengan langkah kasar.
"Aku akan membelinya mulai sekarang. Oh, dan aku akam msmbayar yang sebelum-sebelumnya juga."
"……Aku lupa."
"Kamu pasti bercanda."
Ketika aku menyampaikan itu kepadanya, dia berbalik dengan bibir cemberut.
Aku tertawa terbahak-bahak, aku tidak berpikir itu adalah hal yang buruk, dia terlihat seperti anak kecil yang cemberut. Karena itu, Sajo-san yang suasana hatinya memburuk terlihat imut. Aku tidak bisa menahan tawa lagi dan ditendang di tulang kering.
...Begitu baik.
Jika ini berakhir di bagian ini, aku akan pulang dengan perasaan bahagia.
“…Apa-apaan, bento itu?”
"...Makan malam."
Aku mendengar suara dingin yang membuatku merinding, dan kali ini aku memalingkan muka untuk menghindari tatapannya.
Toko bento. Aku menambahkan karubi donburi ekstra ke keranjang belanjaanku dengan stiker setengah harga di atasnya.
Aku tidak melakukan hal buruk. Aku belum melakukannya, tapi...Aku merasa ibuku menyalahkanku , dan dia tidak tega meninggalkanku sendirian.
(Tln: karubi Donburi itu nasi terus di kasih toping daging sapi, mungkin Wagyu)
...karubi donburi enak kan? Terutama sausnya.
Tidak peduli apa yang kukatan ibu(Sajo-san) tidak bisa di yakinkan, tapi apakah akan masuk akal jika aku menarik diri?
Sampai aku membayar di kasir, aku terkena tatapan dingin dan perutku keroncongan karena alasan selain rasa lapar.
■■
Berangkat sendiri. Pulangnya berdua.
Karena kami tinggal di gedung apartemen yang sama, wajar saja jika aku mengambil rute pulang yang sama dengan Sajo-san. Dalam perjalanan pulang, kami jalan berdampingan.
Menyusuri jalan sempit di kawasan pemukiman, hanya mengandalkan kerlap-kerlip lampu jalan.
Saat aku melihatnya membawa kantong plastik berisi bahan-bahan, aku bertanya apakah aku boleh membawanya, tapi dia menatapku kosong dan tanpa emosi.
Apakah dia nasib kesal atas kejadian sebelumnya? Ketika aku merasa tertekan, dia menyodorkan kantong plastik itu ke arahku. Saat aku membuka mata karena terkejut, dia berlari ke depan dan membuat jarak denganku.
Sekitar tiga meter. Apakah dia malu atau apa?
Aku dengan perlahan mengangkat beban yang berat, yah, mungkin dia mengandalkanku, aku memutuskan untuk menafsirkannya seperti itu. Itu akan lebih baik untuk ketenangan hatiku.
...Mungkin bagi dia ini merepotkan. Kebenaran tidak membuat siapa pun bahagia.
Di bawah langit malam yang gelap gulita dengan awan tipis. Berjalan diam-diam menyusuri jalan aspal yang sepi. Selama waktu itu, kami tidak berbicara, dan sebelum kami menyadarinya, kami sudah sampai di apartemen.
Buka kunci otomatis di pintu masuk dan masuk ke lift bersama.
Lantainya sama. Aku mengambil posisi di depan tombol, dan Sajo-san bersandar di dinding di belakangnya. Aku melamun menatap angka digital bewarna merah yang menandakan kenaikan lantai, dan kemudian aku berhenti di lantai tujuanku.
Selamat datang di game RPG. Turun dari lift berdampingan.
Lorong umum di gedung apartemen tidak terlalu panjang. Kurang dari sepuluh langkah, kami sudah sampai di depan pintu Sajo-san.
"Baiklah kalau begitu."
Aku mengucapkan selamat tinggal dengan satu tangan dan mencoba menyerahkan barang bawaan yang kubawa. ……Tetapi.
Ketika aku melihat kembali ke arah Sajo-san, sikapnya terlihat sedikit aneh.
Dia berdiri di depan pintu, kaku.
Raut wajahnya dari samping penuh kebencian dan rasa jijik. Meski begitu, wajahnya pucat, dan dia tampak ketakutan oleh sesuatu.
Dari supermarket hingga sekarang. Suasana hatinya sedang tidak baik, tapi dia tidak pernah menunjukkan rasa jijik yang begitu jelas. Dia berubah saat berada di depan pintu. Saat aku memimpin jalan setelah turun dari lift, dan aku sedikit msnoleh, ekspresinya telah berubah hingga bisa dibilang itu aneh.
Apa yang ada di pintu itu...?
Sebuah penanda atau semacamnya? Ada sesuatu yang menimbulkan reaksi dramatis pada Sajo-san hanya dengan melihatnya.
Menghindari tubuh Sajo-san, aku mengintip ke pintu untuk memeriksa. ...Dan itu dia.
Sebuah kantong kecil yang tersangkut di kenop pintu.
Aku melihat sekeliling untuk melihat apakah ada hal lain, tetapi aku tidak dapat menemukan apa pun. Tak jauh berbeda dengan pintu depan kamar apartemenku.
Dengan kata lain, itulah faktor yang menyebabkan mental Sajo-san tidak stabil.
"..."
Sajo-san menunduk sedikit dan meraih lengan atasnya.
Cengkeramannya begitu kuat hingga meninggalkan kerutan yang dalam di pakaiannya, dan urat-urat darah terlihat di punggung tangannya.
Matanya yang memiliki tatapan jijik dan penuh kebencian telah berubah menjadi tatapan kosong yang sama seperti yang kulihat di hari hujan, seolah dia telah menyerah dalam segala hal.
Bahunya gemetar. Itu tampak seperti kucing yang ditinggalkan dan sekarat.
"……Ah."
Menggaruk kepala. Aku bingung bagaimana aku harus berbicara.
Aki tidak pernah diajari apa yang harus dikatakan dalam situasi seperti ini. Apakah itu kata-kata penghiburan, atau menunjukan kepedulianku?
Namun, aku sedang memilih kata-kata, tetapi apa yang akan aku lakukan sudah diputuskan.
Lagipula, aku tidak bisa menutup mata. Siapa pun yang memiliki sedikit kecerdasan dapat memprediksi nasib kucing terlantar yang sekarat.
Itulah yang kurasakan, kondisi Sajo-san saat ini sangatlah rapuh.
Simpati? Kemunafikan?
Itu bukan polanya. Tapi itu lebih baik daripada tidak melakukan apa-pun. Jika aku meninggalkannya di sini dan terjadi sesuatu pada Sajo-san, aku yakin aku akan menyesalinya.
Pada akhirnya, ini hanya keinginanku. keputusan mundur. Aku mencoba yang terbaik untuk memanggilnya dengan suara keras, mencoba menghilangkan suasana canggung.
"Sajo-san."
“……”
dia tidak menjawab. Kepalanya tetap menunduk, badannya gemetar. Seolah dia kedingingan.
Ini seperti waktu itu. Bedanya, ini kali kedua. Dan kemudian, aku dan Sajo-san baru saja pulang bersama dari supermarket.
“Etto?”
Aku kehilangan kata-kata. Peras apa yang tersangkut di tenggorokan dan sampaikan padanya.
──Maukah kamu menginap malam ini?
■■
Jadi.
"……apa ini?"
"Maaf"
Aku mengajaknya tanpa berpikir panjang, seolah itu sudah menjadi hal yang biasa sehingga aku akhirnya menghadapi masalah yang benar-benar aku lupakan.
Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Aku ingin berpaling dari kenyataan.
Namun, sayangnya, Sajo-san yang cemberut di sebelahku tidak mau memaafkanku.
"...Kamar yang kotor. Apakah benar ada seseorang yang tinggal di sana?"
Kata-katanya pedas. Itu bukanlah komentar yang menyindirku, itu hanya komentar terhadap keadaan saat ini, tapi sangat fakta hingga sangat menusuk hatiku.
Aku bahkan tidak bisa mengerang lagi karena rasa malu.
Adapun mengapa kata-kata tidak berperasaan seperti itu diucapkan, sederhananya, ini adalah ruangan yang kotor.
Berbeda dengan sebelumnya, aku harus melewati ruang tamu untuk menyimpan makanan yang aku beli di lemari es...
Sampahnya sudah dikumpulkan, namun di lantai masih ada tumpukan pakaian yang sudah dicuci dan ditinggalkan, serta botol-botol plastik yang berjejer sembarangan seperti pin bowling.
Tentu saja akan keluar satu atau dua kata yang membuatnya tercengang. Jika ini akan terjadi, aku akan membersihkannya secara teratur.
Sudah jelas, tapi aku menyesalinya sekarang, dan tidak mungkin aku melakukannya jika aku tidak bisa memprediksi masa depan. Sangat menggoda untuk berpikir demikian. Padahal diriku di masa lalu menyuruhku berusaha keras.
"Aku tahu tidak sopan mengatakan hal seperti ini saat kamu membiarkanku menginap, tapi...kamu terlalu malas."
"……Maaf"
Itu kata yang tepat. Aku tidak punya pilihan selain meminta maaf sekarang.
Sepertinya yah, aku tetap menyesal mengundangnya ke rumahku.
"... Haah"
Sajo-san menghela nafas.
Jantungku berdetak kencang, seolah-olah aku terkejut. Selagi aku menatapnya dengan gelisah, entah mengapa dia meraih cucian.
“Eh…anu?”
"...Tidak ada tempat untuk berjalan."
Saat aku sedang bingung, Sajo-san mengambil baju dari puncak gunung dan menurunkan lututnya ke lantai lalu duduk tegak.
"Tidak mungkin kamu bisa makan makanan dalam kondisi seperti ini. Atau kamu menyuruhku duduk di tempat sampah dan makan?"
Aku menyangkalnya dengan menggelengkan kepalaku dari sisi ke sisi. Tentu saja aku tidak punya niat melakukan itu...tidak tapi.
“...Apakah kamu mencucinya?” dia bertanya sambil bertanya-tanya, dan aku menjawab, `
“Aku hanya belum melipatnya!” dengan suara serak. Mungkin responku mencurigakan, dan ketika aku dilirik dengan curiga, dia mendekatkan kemeja yang dia pegang ke hidungnya dan mengeluarkan suara pelan.
Tenggorokanku mengeluarkan suara aneh saat menyaksikan aksi keterlaluan ini. B+baunya dicium...!?
Berbeda denganku, yang menggeliat karena malu, Sajo-san, yang tidak peduli dengan itu, berkata pada dirinya sendiri, “Sepertinya tidak bohong,” dan mulai melipat cucianku.
〜〜……! ! ?
Aku merasakan keinginan untuk menggedor lantai. Karena marah kupikir dia tidak akan melakukannya, di dalam hati, aku menjadi liar.
Kenapa kamu begitu tenang seperti itu!? Tidakkah itu memalukan? Baik bagi yang mencium maupun yang dicium! Apakah aku yang aneh? Apakah aku terlihat menjijikkan hanya karena aku khawatir tentang berbagi botol minum dengan seorang gadis sekarang!?
Saat aku memikirkannya, “Tolong diam,” aku kena marah. Aku merasa terkejut.
Apakah aku aneh? Aku merasa malu dan curiga, tapi kalau aku membuat keributan lagi, aku mungkin akan diusir, jadi aku tetap diam. Meskipun itu rumahku.
Atau lebih tepatnya, aku tidak bisa mencium bau pakaiannya.
Bukankah terlalu kejam bagiku untuk mengundangnya dan membuatnya membersihkan rumahku?
Jika dia adalah pacarku, tidak ada keraguan bahwa dia akan meminta putus. Untung dia bukan pacarku.
Aku minta maaf. Tapi aku bingung, apakah aku harus menghentikannya atau melakukannya bersama-sama.
Yang bisa kulakukan hanyalah menggerakkan tubuhku dari sisi ke sisi dan mengeluarkan ah, oh, eh, terdengar seperti mesin rusak.
Saat aku sedang bingung, Sajo-san selesai melipat cucian di tangannya dan membuka mulutnya.
"...Aku hanya tidak ingin berhutang budi."
Tangannya berhenti.
Wajah Sajo-san, yang tadinya menunduk, menoleh ke arahku. Kami bertukar tatapan. Namun, itu semua hanya sesaat, dan seolah-olah mencoba melarikan diri, dia mengambil cucian yang tidak dilipat dan berkata dengan nada yang kuat, "Itu saja!" dan mulai melipatnya seolah-olah tenggelam dalam pekerjaannya. Dia kembali melipat pakaian.
......AHA.
Aku menahan senyum yang hendak jatuh. Berbahaya, berbahaya. Aku hampir kena marah lagi.
Ternyata Sajo-san sangat sopan.
"Yah, lihat. Kamu membuatkanku bento."
Tidak ada pertukaran.
Sajo-san mengangkat pipinya dengan sinis. Lalu dia menyuruhku untuk membuangnya.
"Ah...itu bento yang payah dan tidak feminim."
“Bukankah luar biasa karena unik dan lezat?”
Saat aku menyampaikan kesan jujurku, dia menjadi murung dan diam.
Mata dan mulutnya melengkung karena tidak senang, dan dia berkata dengan sinis, "...kamu pandai merangkai kata-kata ya."
Padahal itu benar.
Entah aku salah memilih kata-kata, atau Sajo-san tidak mau jujur.
Namun, saat aku berpikir bahwa aku ingin dia lebih mempercayaiku, dia menoleh ke arahku dengan mata menyipit dan berkata, “Ngomong-ngomong.” Apa?
“Apa tumpukan kaleng kosong itu?”
"……ah"
Ternyata itu?
Yang ditunjuk Sajo-san dengan dagunya adalah tumpukan kaleng kosong berbentuk piramida di sudut ruangan.
Bahkan di ruang tamu yang penuh dengan benda, tanpa memiliki tempat untuk melangkah, menara berwarna-warni itu mengeluarkan aura yang aneh.
Tentu saja, aku akan di tatap sinis.
Karena tidak tahan terus-menerus ditatap sini oleh Sajo-san, aku diam-diam memalingkan muka.
Namun, meski aku berpaling, tatapan yang menyengat pipiku terasa perih.
Aku bingung harus membuat alasan atau tidak. Yah, bahkan sebelum aku menjelaskannya, dia sudah tahu kalau itu alasan, itu tidak masuk akal kan?
"Ah, anu, itu?"
Apa yang harus kukatakan. Aku tidak bisa memikirkannya.
“Karena merepotkan untuk membuangnya, tapi aku mulai bersenang-senang setiap hari, bertanya-tanya berapa banyak yang bisa aku kumpulkan saat aku mengumpulkannya. Aku tidak ingin membuangnya... tapi menurutmu itu indah kan?"
"Jadi?"
Aku yang sudah berusaha keras cuman dijawab “Jadi?” hanya satu suara.
Aku tidak bisa berhenti berkeringat dan kedinginan.
"Ah. Aku sudah mencucinya dengan benar supaya tidak kotor tahu? Beneran, kok."
"……Gitu"
Aku mencoba bercanda untuk membuatnya tidak marah, tetapi Sajo-san tidak punya hati
.
"Buang."
Dia mengatakannya dengan dingin.
Aku berdiri dan memastikannya lagi, “Beneran nih?” namun, tidak ada yang bisa kulakukan karena itu adalah kalimat terakhirku.
"……Baiklah"
Yang bisa kulakukan hanyalah mengangguk.
Itu adalah momen ketika menara kerja keras (malas) di pihakku runtuh dalam sekejap mata.
Ah.
■■
Ju, ju, ju.
Aku mendengar suara memanggang yang asing datang dari dapur.
Aku tidak tahu di mana itu, tapi Sajo-san memakai celemek berenda yang lucu dan sedang memasak makan malam.
"Terima kasih atas bantuanmu hari ini."
Jadi dia keluar dan membelikan persiapan makan malam untukku.
Aku hanya punya satu karubi donburi yang kubeli, dan Sajo-san tidak menyukainya, jadi itu disimpan di lemari es.
Aku punya beberapa penyesalan tentang hal itu, tapi dibandingkan dengan situasi bahagia dimana gadis itu menyajikan makanan rumahan kepadaku, penyesalan kecil itu dengan cepat hilang.
Saat aku mengintip ke dapur, aku melihat Sajo-san mengenakan celemek berwarna merah muda yang lucu, kontras dengan suasananya yang pemurung dan sejuk.
Meskipun ada perbedaan antara kesan, apakah itu karena wajahnya terlalu cantik. Sungguh menakjubkan betapa anehnya hal itu cocok untuknya meskipun rasanya aneh. Kekuatan wajahnya terlalu kuat.
Namun, meskipun dia terlihat bisa melakukan apa saja, dia tampaknya kesulitan dalam hal memasak.
Dia memasak dengan tangan yang lambat dan genting, memeriksa ponselnya setiap saat.
Dengan bunyi bukbuk, tomat itu dipotong dengan sangat kuat sehingga tidak hanya mengenai talenan tetapi juga meja.
Dia bergantian melihat sendok takar dan ponselnya dan dengan hati-hati memasukkan makanan ke dalam mangkuk.
Aku diberitahu bahwa aku tidak perlu campur tangan. Aku merasa gugup hanya dengan melihatnya.
Lagipula aku tidak bisa memasak.
Aku merasa tidak tenang, rasanya seperti melihat seorang anak memegang pisau untuk pertama kalinya.
Aku diam-diam mengawasinya sambil bersembunyi di balik meja, tapi setelah memotong ayam, Sajo-san menarik napas dalam-dalam dan melihat ke atas. Mata kami bertemu.
Oh, saat kupikir ini mungkin berbahaya, wajahnya menjadi muram.
"...Aku sudah bilang kamu tinggal duduk dan menunggu dengan tenang, kan? Apa? Tidak bisakah kamu menunggu saja? Apa kamu masih bayi?"
"Babu... Maksudku, aku minta maaf!? Jadi jangan coba-coba datang ke sini dengan pisau di tanganmu!"
Aku mencoba mengolok-oloknya sebagai lelucon, tetapi aku hampir saja terluka oleh pisau itu. Aku buru-buru melompat ke kursi di ruang tamu.
Apakah dia segitunya tidak ingin dilihat saat sedang memasak?
Yahh, menyaksikan Sajo-san memasak membuatku gugup dan hatiku tidak tenang. Ada sesuatu yang menakutkan ketika memalingkan muka.
Namun, mungkin karena dia tidak ingin menunjukkan sisi kikuknya, dia benci dilihat secara terang-terangan. Pada awalnya, ketika aku mencoba membantu, dia mengusirku, dan ketika aku mencoba untuk setidaknya berdiri di sampingnya dan mengawasinya, dia menendang tulang keringku dan mengusirku.
Mungkin itu sedikit megah? Saat aku memikirkan hal itu, dia meletakkan setumpuk piring di atas meja dan berkata, “Ini akan segera jadi, jadi siapin piringnya.”
“Yaa.”
Angkat tanganmu seperti anak kecil.
Dia menatapku seolah dia tidak menyukaiku, tapi dia tidak mengatakan apa pun dan kembali ke dapur. Tidak, aku tidak terlalu memprovokasinya, kan?
Akhirnya tiba waktunya bagiku untuk membantu. Ketika keluargaku berada di rumah ini, aku hanya akan menjatuhkan diri ke meja dan berkata “Merepotkan” meskipun pantatku ditendang, tetapi hari ini berbeda. Aku mengambil inisiatif dalam menyiapkan makan malam.
Bersihkan meja, letakkan piring, dan letakkan sumpit di depan setiap kursi.
Selagi hal ini berlangsung, Sajo-san berkata, “Sudah jadi,” dan menata makanan di piring. Saat itu, yang tersisa hanyalah nasi.
"Ah."
Sajo-san tiba-tiba membuka penanak nasi dan mengeluarkan suara terkejut.
Jika dilihat dari samping, alasan dia bereaksi seperti kehilangan, alasannya menjadi jelas.
Beras yang masih terendam air berenang di dalam panci.
Dia lupa menekan tombol. Nasinya belum matang.
"……Maaf.”
Mengangkat bahu. Itu bukanlah sesuatu yang harus membuatnya minta maaf. Meski tidak ada di sana, tidak masalah.
"Kalau begitu... eh!?"
Aku terkejut. Itu karena Sajo-san menangis. Ini terlalu mendadak dan reaksiku teetunda. Aku tidak tahu bagaimana perasaannya.
"...Apa? Menatapku seperti itu."
Sajo-san sepertinya tidak menyadari bahwa dia menangis, sikapnya tetap sama seperti biasanya. Suaranya juga tidak menangis, sangat datar.
Aku tergoda untuk bertanya-tanya apakah aku salah, tapi tidak ada keraguan karena bahkan sekarang, aliran air mata mengalir di pipinya dari mata hitamnya.
"Apa... ah. Um... Kamu baik-baik saja?"
Aku bertanya seolah sedang mencurigainya. Sajo-san memiringkan kepalanya, mengusap wajahnya dengan jari, dan membuka mulutnya sedikit. Dia menyeka pipinya yang basah dengan ujung jarinya dan menghela nafas, seolah kecewa pada dirinya sendiri.
“Jangan pedulikan. Ini sering terjadi.”
“Tidak, meski kamu bilang jangan pedulikan…”
Terlebih lagi, itu sering terjadi..
Aku bingung. Aku khawatir dan tidak mungkin aku akan lupa.
Lagipula, meski pemicunya adalah lupa menanak nasi, aku tak menyangka hal itu saja akan membuatnya menangis. Mungkinkah ada penyebab lain? Tapi menurutku itu bukan sesuatu yang harus kutanyakan...
Aku kesakitan. Saat aku memejamkan mata dan mencoba untuk tidak mengkhawatirkannya, aku mendengarnya mendesah lagi.
Aku membuka mata. Sajo-san menatapku sambil menyeka air matanya.
"...Terkadang, hanya tubuhku yang bereaksi sebelum emosiku. Meskipun aku tidak memikirkan apapun, air mata mengalir dengan sendirinya. Aku rusak...itu saja."
Seolah percakapan ini sudah selesai, Sajo-san menuju ke dapur. Dia mengatakannya seolah itu bukan apa-apa, tapi kata-kata itu terlalu mengejutkan bagiku. Aku tidak tahu bagaimana menerimanya.
Apa yang dimaksud dengan rusak? Mungkinkah itu kelenjar lakrimalnya? Atau...
(Tln: Kelenjar lakrimal adalah kelenjar yang bertanggung jawab untuk memproduksi air mata. Kelenjar ini terletak di bagian atas dan di luar sudut dalam mata)
Saat aku berdiri di sana, Sajo-san kembali dari dapur. Di tangannya ada donburi karubi yang kubeli di supermarket.
"Maaf, tapi apakah ini boleh sebagai pengganti nasi?"
"Ah, ya..."
Aku mengangguk. Tadinya aku sangat ingin makan donburi karubi, tapi saat ini aku tidak terlalu menyukainya.
■■
Karaage, tamagoyaki, selada dan salad tomat, serta sosis gurita.
Bahan-bahan yang seharusnya menjadi lauk pauk untuk bento besok, diubah menjadi makan malam dan penghias meja.
Satu-satunya yang disertakan dengan nasi adalah Donburi karubi setengah harga, yang sudah jadi dan dimasak dalam microwave. Itu ditempatkan di setiap piring secara terpisah.
Di pertengahan tahun ketiga SMP.
Sejak aku akan lulus, aku tidak bisa ikut ayahku dalam perjalanan bisnisnya, dan sejak aku mulai hidup sendiri, aku belum makan makanan buatan sendiri. Hanya bento dan cup ramen. Bahkan yang paling buruk, terkadang aku tidak makan sama sekali.
Bagaimana.
Perempuan. Terlebih lagi, aku tidak percaya aku akan disuguhi makanan rumahan oleh seorang gadis cantik. Aku mencubit pipiku, bertanya-tanya apakah aku sedang bermimpi. itu menyakitkan.
Ada hal-hal yang perlu pertanyakan. Namun, ketika dihadapkan pada sebuah pesta, nafsu makan, antisipasi, dan rasa puas.
"...Aku tahu aku payah."
Sajo-san, yang duduk di hadapanku, bergumam dengan suara rendah. Karena aku mencubit pipiku. Mungkin dia mengira aku tidak puas.
Selain itu yah, dia tahu apa yang ingin aku sampaikan.
Secara umum, dalam hal memasak Sajo-san... Aku tidak bisa mengatakannya.
Banyak makanan yang gosong dan bentuknya tidak beraturan.
Sosis yang dia coba buat menjadi gurita mungkin dipotong terlalu jauh, tapi hancur berantakan. Ini adalah Kasus Pembunuhan gurita.
Tamagoyakinya berantakan dan permukaannya rapuh. Robek dan bengkok, mungkin karena tidak tergulung dengan baik.
Karaage-nya sepertinya terlalu matang, dengan bintik-bintik hitam gosong yang terlihat jelas. Ukurannya juga tidak merata.
Seladanya terlihat cantik, tapi... Menurutku perkataan itu tidak akan bisa menghiburnya. Faktanya, hal itu sepertinya bisa dianggap sebagai sebuah ironi.
Aku bahkan tidak bisa mengatakan bahwa aku pandai dalam hal itu.
Jadi jika rasanya enak atau tidak, aku tidak bisa menentukannya.
Ittadakimasu. Satukan tangan, lalu gunakan sumpit untuk mengambil sepotong karaage.
“Ya, ini enak.”
Juicy dan renyah. Pipiku tiba-tiba menjadi kendur.
"Sudahlah, tidak usah seperti itu."
“Itu bukan pujian.”
Itu benar, sungguh. Itu bukan pujian.
Apalagi karaage digoreng, sebaiknya adonannya padat, tidak seperti yang sudah jadi di toko. Bagaimanapun, makanan buatan rumahan adalah yang terbaik.
Bukan hanya karaage. Hal yang sama berlaku untuk hidangan lainnya.
Bentuknya kikuk dan kelihatannya jelek, tapi rasanya enak. Itu benar, dan itu tidak salah.
Selama seminggu terakhir. Itulah yang aku rasakan ketika aku sedang makan bento buatannya,
“Hati-hati pekan-pekan saja.”
Setelah melihat masakan hari ini, aku mengerti mengapa rasanya enak.
Sajo-san bukanlah orang yang biasa memasak. Anda bisa mengetahuinya hanya dengan melihat makanan yang dia masak, dan bisa dilihat dari caranya memasak.
Namun dia berusaha membuatnya persis sesuai resep.
Dia menggunakan sendok takar untuk menakar bumbu, dan karaage digoreng dua kali.
Hati-hati dan tidak menyia-nyiakan usaha.
Oleh karena itu, memakan banyak waktu dan sering kali aku mengalami gosong saat dia sedang memeriksa resepnya.
Sudah jelas jika masakan Sajo-san sangat enak.
"Itu benar-benar menonjolkan kepribadian baik Sajo-san."
“……Aku tidak mengerti apa yang kamu maksud.”
Jika kamu berkata seperti itu, apa kamu menyuruhku memakan semua tanpa sisa, makanan yang di tambahkan ke piring semakin banyak.
Sebelum aku menyadarinya, salad, tamagoyaki, dan karaage semuanya bertumpuk di satu piring.
“Yah… apa pendapatmu tentang ini?”
"Tidak tahu."
Tiba-tiba aku ditolak. Baiklah, aku akan memakannya.
Lalu untuk sementara waktu. Aku satu-satunya yang terus makan dalam diam, dan situasi berlanjut dengan Sajo-san yang mencuri pandang ke apa yang aku makan. Aku merasa tidak tenang dan merasa seperti seekor panda di kebun binatang.
Namun, aku bertanya-tanya apakah dia puas setelah melihat aku makan setengah dari makanan yang telah disediakan Sajo-san untukku.
Dia menyatukan tangannya dan berkata dengan berbisik, “...Itadakimasu,” lalu dia mengambil potongan karaage dengan sumpitnya dan memasukkannya ke dalam mulutnya yang terbuka.
Rahang, yang membentuk garis indah, bergerak dengan tenang.
“Enak kan?”
Saat aku bertanya padanya sambil tersenyum seolah itu buatanku sendiri, Sajo-san berkata dengan wajah muram.
"Tidak enak."
"Eh."
Gadis di depanku keras kepala dan tidak mau jujur.
"Itu tidak benar, kan? Enak, bukan? Ayo katakan kesan jujurmu, oke?"
"……Berisik."
Dia memelototiku seolah-olah dia sangat depresi, dan dengan enggan aku mundur. Padahal ini enak...
"Ini benar-benar... tidak enak."
"Ini benar-benar... tidak enak."
Dia berulang kali mengatakan bahwa rasanya tidak enak. Seolah ingin endoktrinku. Seolah-olah ingin aku merasa seperti itu.
Namun, meski lambat, sumpit Sajo-san tidak pernah berhenti hingga piring berisi makanan bersih.
Post a Comment