Penerjemah : Nobu
Proffreader : Nobu
Epilog
Setelah itu, Akimiya dan aku ... kembali berpacaran.
Setelah liburan musim panas berakhir, aku menceritakan situasinya, dan Miu awalnya terlihat bingung, tapi kemudian dia langsung tersenyum cerah.
"B-Begitu, ya, syukurlah, Fujicchi dan Akicchi!"
"Miu ... maafkan aku ...."
"T-Tunggu sebentar, kenapa kamu minta maaf! Kalian kan enggak bersalah, jadi enggak perlu minta maaf ...."
"Tapi ...."
"Aku benar-benar ... tidak apa-apa ...."
Dengan suara lemah, Miu mengatakan itu sambil kembali ke tempat duduknya.
Saeki-san juga dengan wajah bingung mengatakan, "Hmm, mungkin memang tidak bisa dihindari ... tapi saat memikirkan Miu, aku tidak bisa mengatakan apa-apa ...."
Sejak hari itu, entah kenapa aku menjadi sedikit menjauh dari mereka berdua.
Meskipun kami masih saling menyapa dan berbincang jika berpapasan, tapi ada semacam jarak yang terasa canggung di antara kami.
Aku memahami bahwa hubungan kami yang berpusat pada Akimiya tidak bisa kembali seperti semula. Tapi tetap saja, aku merasa sedikit sedih dengan keadaan ini.
Aku juga ingin memberitaukan hal ini pada Nichirin-senpai.
Alasan kenapa aku bisa berhubungan kembali dengan Akimiya adalah karena dia memberitahuku tentang keberadaan Akimiya.
Namun ... itu tidak terjadi.
Ada banyak hal yang ingin aku tanyakan dan konfirmasi, tapi sejak hari itu, senpai tidak pernah lagi datang ke ladang bunga matahari.
Tidak hanya itu. Aku mencoba mencari senpai di ruang kelas tahun kedua, tapi aku tidak dapat menemukannya sama sekali.
Tidak peduli pada siapa pun aku bertanya, mereka menggelengkan kepala dan mengatakan bahwa mereka tidak tahu tentang seseorang bernama Tenkawa Nichirin. Seolah-olah orang itu tidak pernah ada sejak awal.
Meskipun menghadapi berbagai perubahan seperti itu, kami lulus dari SMA dan memutuskan untuk masuk ke universitas yang sama.
"Selamat pagi, Fujigaya-kun."
"Ah, selamat pagi. Akimiya juga mulai dari kelas pertama hari ini?"
"Ya. Aku masih mengantuk seperti bunga matahari."
"Aku juga ...."
"Ah, bagaimana kalau kita saling membangunkan? Kalau salah satu dari kita tertidur, kita bisa mencubit pipinya untuk membangunkannya."
"Oh, itu ide yang bagus."
"Ehehe."
Senyumnya yang seperti bunga matahari.
Meskipun sederhana, kami masih bisa menghabiskan waktu bersama.
"Setelah kelas selesai hari ini, bolehkah aku memintamu untuk menjadi model lagi?"
"Eh, itu boleh saja, tapi ...."
"?"
"Selalu aku yang kamu gambar ... apa kamu tidak bosan dengan itu, Fujigaya-kun?"
"Apa? Tentu saja tidak."
"Uh, t-tapi ...."
"Aku tidak akan bosan. Malah, semakin aku tahu tentang Akimiya, aku semakin ingin menggambarnya lagi dan lagi."
"Ah ...."
"Jadi, bolehkah aku menggambarmu lagi?"
"... Ya."
Akimiya mengangguk pada pertanyaanku.
Setiap hari, aku selalu menggambar Akimiya.
"Hei, hei, ayo kita bergandengan tangan."
"Eh?"
"Lihat, di jalan pulang ini tidak ada siapa-siapa dan tidak ada yang melihat kita, kan? Kita kan sedang berpacaran, jadi tidak apa-apa melakukan ini sesekali, kan?"
"..."
"..."
"... Baiklah, ayo."
"Ehehe."
Kami berdua pulang bersama sambil bergandengan tangan.
"Sudah sampai di persimpangan jalan, ya. Sampai di sini kita berpisah, ya."
"Itu benar ...."
"Aneh, ya ... Aku ingin terus bersamamu sedikit lebih lama. Hari ini kita terus bersama seperti tanaman everfresh yang selalu segar ...."
"Ah, itu ...."
"...?"
"Aku juga merasakan hal yang sama ...."
"Fujigaya-kun ...."
"Akimiya ...."
"..."
"..."
Kami berdua berlama-lama di tempat itu, saling memandang dengan enggan untuk berpisah.
"Hei, ngomong-ngomong ...."
Suatu hari, Akimiya mengatakan itu.
"Hm?"
"Sampai kapan kita akan terus memanggil dengan nama belakang? Yah, kita sudah cukup lama berpacaran, jadi rasanya terlalu formal, kan ...."
"Itu memang benar ...."
"Aku juga sebenarnya berpikir begitu, tapi entah kenapa sampai sekarang kita belum mengubahnya."
"B-Baiklah, mulai sekarang, mari kita saling memanggil dengan nama depan kita."
"Oke."
"Ehm ...."
"..."
"... Hazumi."
"Y-Ya."
Dengan sedikit ragu-ragu, tapi terlihat senang, Hazumi mengangguk.
"K-Kalau begitu, sekarang giliranmu."
"Ah, y-ya ...."
"..."
"Ehm ...."
"..."
"... Ah, Hiagari ... uh ...."
"..."
"..."
"T-Ternyata ... ini agak memalukan, ya."
"Itu benar ...."
Meskipun begitu, dia tidak merasa buruk.
Rasanya jarak di antara kami tiba-tiba menjadi lebih dekat ... dan itu membuatku merasa canggung.
Begitulah setiap harinya.
Itu membahagiakan.
Ada mimpi yang ingin kuraih, dan di sampingku ada seseorang yang mendukungku, yang menurutku sama berharganya, atau bahkan lebih berharga daripada diriku sendiri, yang selalu menyambutku dengan senyum cerah seperti bunga matahari.
Hazumi, yang selalu ada di sana dengan senyum matahari itu, adalah satu-satunya dan yang paling berharga bagiku.
Tidak ada lagi yang kuinginkan. Akhirnya aku bisa mencapai masa depan yang kuimpikan.
Aku benar-benar berharap waktu seperti ini akan terus berlanjut selamanya.
Tapi ....
Itu terjadi pada suatu hari di bulan Juli.
Hujan turun dengan derasnya, menimbulkan suara yang keras.
Pandangan menjadi kabur, dan di tengah udara lembab khas musim panas, butiran air halus menempel di payung dan pakaian, sedikit mengganggu.
Tapi gangguan itu tidak terlalu dipermasalahkan.
"Hei, kita mau pergi ke mana selanjutnya?"
Hazumi, yang berjalan di sampingku sambil memegang payung, mengatakan ini dengan ringan,
"Bagaimana dengan taman di depan stasiun?"
"Ah, itu ide bagus ... Di sana juga banyak bunga matahari yang indah, kan?"
Mengangguk setuju, kami mulai berjalan.
Saat itu ....
Tiba-tiba, semuanya yang ada di depan mataku menjadi putih.
Lalu, suara klakson yang mengganggu terdengar.
"Awas ...!"
Itu adalah keputusan yang diambil secara refleks.
Sebelum sempat berpikir, tubuhku sudah bergerak.
Aku berusaha mendorong Hazumi dengan sekuat tenaga untuk melindunginya, menjauhkannya dari trotoar.
Tapi aku tidak bisa melakukannya
Saat aku mencoba membantunya, tapi dia malah mendorongku kembali.
"Eh …?"
Aku bingung dan kehilangan keseimbangan.
Pemandangan di sekitarku tampak bergerak lambat.
Lebih dari mobil yang mendekat, lebih dari tetesan hujan yang mengenai wajahku, tanda tanya terus bermunculan di dalam kepalaku.
Karena dia, Hazumi, tersenyum.
Seolah-olah dia sudah tahu ini akan terjadi.
Seolah-olah dia sudah memutuskan untuk melakukan ini sejak awal.
Dengan senyum puas ... dia telah mendorongku sekuat tenaga.
Segera setelah itu, terdengar suara gemuruh yang mengganggu telinga.
"Hazumi ...! Hazumi ...!"
Aku berteriak putus asa memanggil gadis yang telah tumbang itu. Tapi dia tidak menjawab.
Seolah-olah sedang tertidur, dia tetap memejamkan matanya dan tidak bergerak sedikit pun di dalam pelukanku.
Wajahnya pucat.
Di sekitarnya terbentuk genangan air berwarna merah pekat.
Tubuhnya mulai terasa dingin.
Ini tidak mungkin ... ini tidak mungkin terjadi ...!
Aku baru saja berhasil meraih masa depan bersamanya, semuanya baru akan dimulai, tapi kenapa harus terjadi hal seperti ini ...!
"..."
Hazumi yang tidak bergerak dengan mata tertutup.
Aku perlahan menempelkan bibirku ke bibirnya.
Aku merasakan kesadaranku mulai berputar.
Pandanganku yang tajam mulai kabur, dan keramaian di sekitar terdengar jauh seolah disaring.
Dan aku melakukan lompatan waktu terakhir.
Post a Comment