NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Sensei Mo Shosetsu o Kaku'n Desu Yo Ne? Vol 1 Chapter 1

 






Chapter 1
 Bentuk mimpi



"Hanya suka membaca novel saja tidak cukup untuk menjadi seorang novelis."

Sebentar lagi pukul delapan malam. Waktu pelajaran juga tinggal 5 menit lagi.

Karena penjelasan soal latihan minggu lalu sudah selesai, aku akan masuk ke pembahasan ringkasan.

Aku meletakkan kapur tulis dan melihat sekeliling kelas.

"Mungkin itu mirip. Kalau kalian tidak membiasakan membaca teks secara analitis dan hanya sekedar membaca sekilas, nilai Bahasa Jepang modern kalian tidak akan meningkat seperti yang kalian harapkan."

Saat ini, aku sedang mengajar pelajaran bahasa Jepang modern di kelas B jurusan sastra SMA tahun kedua di lembaga bimbingan belajar 'Akademi Soushin'.

Kelas yang aku ajar diadakan setiap hari Rabu, dengan jumlah murid sekitar 10-an orang, dengan perbandingan laki-laki dan perempuan yang seimbang. Kelas B ini adalah kelas yang ditujukan untuk murid yang ingin masuk ke universitas swasta bergengsi, dan merupakan kelas dengan level di bawah kelas A.

"Ini bukan hanya sekadar teks ekspositori. Karena ini adalah soal ujian masuk, maka teks naratif pun harus diperlakukan sama."

(TLN : teks ekspositori (teks yang bertujuan untuk menjelaskan atau memaparkan suatu topik)

Di sekitar sini, banyak SMA yang menggunakan seragam blazer. Ngomong-ngomong, sepertinya jumlah murid laki-laki yang memakai gakuran (seragam tradisional Jepang) semakin berkurang. Selain itu, persentase murid yang memakai kacamata juga terlihat rendah. Mungkin hanya setengah dari jumlah murid di kelas sains yang memakai kacamata.

Aku berdiri di depan kelas dan berbicara dengan nada sombong, sementara memikirkan hal-hal yang tidak penting seperti itu.

"Kotohane Mitsuru, yang dibahas dalam pelajaran hari ini, terkenal dengan cara mengekspresikan emosi tokoh melalui deskripsi lanskap. Karena dia seorang penulis cerpen, karyanya sering digunakan sebagai bahan ujian di berbagai universitas."

Para murid mengangguk ke arahku, seolah-olah mereka sedang mendengarkan sebuah pidato.

Entah baik atau buruk, mereka terlihat lebih patuh atau tunduk. Ketika aku masih SMA ── meskipun hanya beberapa tahun yang lalu ── aku merasa bahwa secara keseluruhan, para murid saat ini terlihat lebih serius.

"Sebenarnya, Sensei juga menyukai novelis itu. Dan sejujurnya, tidak memikirkan ujian masuk sekolah adalah yang terbaik..."

──Namun, untuk segala sesuatu pasti ada pengecualiannya.

"...Mitsuharu-san."

Di ujung pandanganku, aku melihat seorang murid perempuan yang sedang bersandar di atas meja dekat jendela, sementara hujan mengalir deras.

Kombinasi blazer berwarna navy dan rok kotak-kotak yang klasik namun modern. Ini adalah seragam sekolah milik SMA Universitas Kaiou.

Tentu saja, aku bukan seorang maniak seragam.

Aku rasa semua orang tidak akan pernah melupakan seragam SMA yang pernah mereka kenakan.

"Fuu... Ha.. Fuu..."

Suara yang terdengar sebagai balasan adalah dengkuran halus dari seorang murid perempuan.

"Mitsuharu."

"Uh, hmm...?"

Saat aku memanggil untuk kedua kalinya, kepala kecil itu bergerak-gerak dengan lembut.

Ketika dia terbangun, kedua matanya yang tampak mengantuk dan sayu perlahan mengarah ke sini.

"Sebentar lagi, pelajaran akan selesai."

"...Aaah, um... Maaf...?"

Kenapa menggunakan kalimat tanya untuk meminta maaf?

Teman-teman sekelasnya tertawa melihatnya menggosok mata setelah bangun tidur.

Mitsuharu tidak mengerjakan PR, terlambat, dan bahkan tertidur di kelas, sebenarnya berapa banyak waktu belajar efektifnya di kelas, ya.

Pelajaran di kelas biasanya berfokus pada pembahasan PR yang diberikan minggu sebelumnya. Jadi, jika murid tidak mengerjakan PR, mereka akan merasa bosan dan tidak tahu harus melakukan apa. Mungkin ada alasan tertentu kenapa dia terpaksa pergi ke bimbingan belajar meskipun tidak menyukainya, seperti desakan orang tua.

Meskipun begitu, sudah waktunya. Apa pun yang aku katakan di sini akan sia-sia. Lagipula, menurutku, lembaga bimbingan belajar bukanlah tempat yang terlalu memperhatikan sikap belajar murid.

"...Untuk saat ini, saya merekomendasikan novel Kotohane Mitsuru, ini tidak ada hubungannya dengan ujian. Kalau kalian tertarik, silakan dibaca untuk hiburan usai belajar. Nah, sampai di sini dulu untuk hari ini. Kalau ada yang ingin bertanya, silakan tanyakan."

Tepat pukul delapan. 

Seperti biasa, aku menyelesaikan pelajaran tepat waktu.

Hujan yang mulai turun saat pelajaran berlangsung, dengan cepat menjadi semakin deras, dan kini telah berubah menjadi badai petir yang ganas. Jika disebut 'Badai Musim Semi', mungkin terdengar puitis, tapi intinya adalah hujan deras yang tiba-tiba.

Setelah membereskan kelas dan keluar menuju ke koridor, aku diselimuti oleh kelembaban yang sangat tinggi dan aroma hujan yang kuat.

Aku pikir semua murid sudah pulang, tapi ternyata masih ada satu orang yang tersisa.

Di depan pintu masuk sekolah, seorang murid perempuan berdiri diam sambil memandangi hujan deras di luar. Di tangannya, dia memegang ponsel dan tampak sedang melakukan sesuatu.
Mungkin dia sedang menunggu orang dari rumah untuk menjemputnya.

Ketika melihat ke tempat payung, aku melihat bahwa tidak ada satu pun payung sewa untuk murid yang tersedia.

"...Mitsuharu."

Ketika aku memanggilnya, murid perempuan itu menoleh.

Di tengah udara lembab, tercium aroma manis seperti buah-buahan yang samar-samar mengambang.

Rambut hitam lurus yang memanjang hingga bahu yang ramping. Mata besarnya yang terlihat dari celah-celah itu berkilauan terkena pantulan cahaya malam di bawah hujan. Ekspresi wajahnya yang sedikit lelah, tampak tidak hanya melamun, seolah-olah pikirannya melayang ke dunia lain.

Di bagian dada blazernya, lambang kelas "II.2" terpampang bersamaan dengan lambang sekolah cabang dari Universitas Kaiou. Diantara delapan kelas, itu menandakan kelas dua, tahun kedua.

"Ada apa, Sensei?"

Suara yang keluar dari tenggorokan yang ramping terdengar rapuh dan transparan, seperti hembusan napas.

"Kalau kamu tidak punya payung, mau kupinjamkan payung milik guru?"

Di saat hujan seperti ini. Aku ragu untuk meminjamkan barang pribadiku kepada murid perempuan karena mungkin akan menimbulkan masalah, tapi jika itu adalah payung cadangan milik guru, sepertinya tidak masalah.

"Terima kasih banyak... Fufu."

Mitsuharu tersenyum kecil sambil menempatkan tangan di mulutnya.

"Ada apa?"

"Tidak... Saya kira, saya akan dimarahi."

Memang, ada banyak hal yang ingin aku katakan tentang sikap belajarnya di kelas, tapi tidak perlu memberikan komentar sekarang saat pulang. Lebih baik jika pendidikan semacam itu diserahkan kepada keluarganya.

"Tapi tidak apa-apa dengan payungnya. Dia sudah datang."

Tepat pada saat itu, sebuah taksi berhenti di depan pintu masuk bimbingan belajar. Pintu belakang taksi terbuka secara otomatis. Orang yang memesan taksi itu melalui ponselnya, ternyata bukan anggota keluarganya... mungkin dia seorang nona muda.

"Ah, ya. Sensei, apa Anda menyukai Kotohane Mitsuru?"

Itu adalah sesuatu yang aku katakan pada akhir pelajaran. Ada sejumlah murid yang hanya mengingat percakapan ringan sebelum pulang, tapi apa dia juga termasuk di antaranya?

"Ah, aku menyukainya. Mungkin dia yang paling aku sukai."

"... Lebih dari novel 'Ginga Tetsudou no Yoru'?"

"Eh, Ginga Tetsudou...?"

Pertanyaan itu tiba-tiba dan aku tidak memahami maksudnya. Memang, dulu itu adalah novel favoritku.

Sementara aku kebingungan, Mitsuharu tersenyum lembut tanpa memperhatikanku.

"Tidak. Tidak ada apa-apa... Apa yang anda sukai darinya?"

"Ya, aku rasa... Pada dasarnya, deskripsi suasana yang mencerminkan batin para tokohnya. Unik tapi juga sempurna. Aku tidak bisa menulis seperti itu."

"...Begitu, ya."

Sekilas, entah hanya perasaanku saja, tapi senyumnya tampak meredup.

Tanpa berkata apa-apa, dia masuk ke kursi belakang taksi yang luas dengan gerakan anggun.

"Kalau begitu, sensei. Sampai jumpa besok."

Taksi yang membawa Mitsuharu segera melaju pergi, dan aku hanya tertinggal sendirian di depan pintu masuk.

"Sampai jumpa minggu depan...kan?"

Saat sendirian, aku merasa suara hujan menjadi semakin keras. 

...Aku juga, kadang-kadang ingin pulang dengan taksi.


◆◆◆


"Hahaha! Itu bukan perilaku yang khas anak SMA!"

"Sungguh saya iri padanya, Nona muda... Yah, setidaknya dia aman sih."

Sebelum pulang, aku kembali ke ruang pengajar untuk menyelesaikan sedikit pekerjaan. Di meja sebelah, Sujino-san sedang merangkum nilai-nilai kuis. Tidak ada orang lain selain kami berdua, seperti biasa dia memutar aplikasi radio di ponselnya untuk mendengarkan berita. Tampaknya tanpa gambar, itu cocok digunakan saat bekerja. 

“Seperti yang diharapkan dari Sano-sensei, kamu bahkan mengkhawatirkan keselamatan murid yang tidak serius belajar."

Guru matematika, Sujino-san, adalah senior yang dua tahun lebih tua dariku. Di Akademi Soushin, dia adalah yang paling dekat usianya denganku. Kami sudah saling kenal sejak bekerja paruh waktu dulu, dan selain aku yang menggunakan bahasa formal, kami hampir seperti teman dekat.

Saat masih menjadi mahasiswa, dia memiliki tubuh berotot karena pernah bermain sepak bola Amerika, sehingga populer di kalangan murid yang tergabung dalam klub olahraga. Melihat dari luar, cukup menarik melihatnya menggunakan lengan besarnya untuk menghitung dan mengoreksi soal-soal perhitungan yang rumit.

"Murid yang bernama Mitsuharu-san. Memang tidak terlalu serius, tapi bukan berarti dia berandalan. Hanya saja, dia sering terlambat dan sering tertidur di kelas. Oh ya, dia juga jarang mengerjakan PR."

Mitsuharu hanya mengambil pelajaran Bahasa Jepang Modern yang aku ajar setiap hari Rabu.

Hanya mengambil pelajaran Bahasa Jepang Modern sedikit tidak biasa dalam pola belajar di lembaga bimbingan belajar. Universitas Kaiou tidak memerlukan ujian masuk universitas, jadi mungkin itu hanya seperti kegiatan tambahan. Tapi jika begitu, Bahasa Inggris atau Matematika mungkin lebih populer. Bahasa Jepang, terutama Bahasa Jepang Modern, adalah salah satu mata pelajaran yang dianggap "tidak perlu dipelajari secara khusus" pun juga tidak apa-apa.

"Apa dia ada masalah di rumah atau kegiatan ekstrakurikuler yang sibuk?"

"Yah... Saya belum sampai ke tahap wawancara atau sesuatu, jadi saya belum bisa mengatakan apa-apa."

"Yah, selama dia membayar uang sekolah, entah dia memanfaatkan bimbingan belajar atau tidak, itu tergantung pada dirinya sendiri."

Dalam hal ini, mempertahankan jarak yang wajar dengan murid adalah sesuatu yang aku dan Sujino-san sepakati.

Meskipun terkadang aku juga membantu murid dengan konsultasi di luar pelajaran, pada dasarnya hal-hal semacam itu memang merupakan peran sekolah. Bahkan saat aku mulai bekerja, kontrak kerja juga melarang adanya interaksi pribadi dengan murid.
Radio yang sedang mengalir berubah topik pembicaraan.

(Berita selanjutnya. Pada bulan Maret tahun ini, seorang guru les privat laki-laki ditangkap karena diduga melakukan perbuatan asusila dengan murid perempuan SMA yang menjadi muridnya──) 

"Ini meresahkan. Hal seperti ini membuat kesulitan bagi seluruh industri, kan?"

Sujino-san mengatakan itu dengan nada kasar. 

"Menjadi dekat dengan murid perempuan SMA di usia seperti itu, itu tidak wajar. Coba pikirkan dengan tenang. Dari sudut pandang orang tua, guru yang menggoda putri SMA-nya tentu saja akan membuat mereka merasa jijik."

Aku setuju dengan Sujino-san.

Setelah memulai pekerjaan ini, aku kembali menyadari bahwa meskipun murid SMA terlihat dewasa, mereka masih memiliki sisi kekanak-kanakan secara mental. Dengan posisi sebagai orang dewasa di masyarakat, kita bisa dengan mudah membuat mereka salah paham.

"Yah, sepertinya Sano tidak terlibat sama sekali. Kamu terlalu serius, bahkan kamu tidak mau meminjamkan payungmu kepada murid perempuan yang kesulitan."

Jika aku meminjamkan barang pribadiku, dia pasti akan mengembalikannya. Murid SMA adalah makhluk yang suka bergosip. Jika ada murid lain yang melihat adegan itu, apa yang akan mereka pikirkan? Terlebih lagi, bagaimana reaksi orang tua, jika putrinya dipinjami payung oleh guru laki-laki? Mungkin aku terlalu khawatir, tapi pekerjaan ini akan berakhir jika ada sedikit saja rumor aneh.

"Dalam kasusmu, kamu juga memiliki pasangan... Amasaki."

Sujino-san tersenyum lebar dengan sudut bibirnya terangkat.

"Ya, benar. Sungguh, itu semua berkat Sujino-san."

"Baiklah, baiklah, itu sudah cukup. Semoga kalian berdua bahagia."

Tanpa disadari, hujan di luar sudah mulai mereda.

"Kalau begitu, kurasa aku akan pulang. Sampai jumpa besok... Oh ya, kamu kan libur. Apa kamu akan melakukan sesuatu?"

"Iya, sedikit."

Pekerjaan sebagai guru bimbingan belajar tidak hanya terbatas pada mengajar di kelas saja. Di Akademi Soushin tempatku bekerja, tugas-tugas kami juga mencakup pembuatan materi ajar, pengelolaan nilai murid, serta kegiatan pelatihan dan rapat. Oleh karena itu, bagi guru tetap, jam kerja mereka pada umumnya sama seperti karyawan perusahaan biasa, yaitu lima hari dalam seminggu. Namun, pekerjaan ini juga memiliki sedikit fleksibilitas.

Aku mendapatkan izin untuk bekerja selama empat hari dalam seminggu, dengan hari Kamis dan akhir pekan sebagai hari libur.

Dan besok adalah hari spesial yang sangat dinantikan.

"Apa-apaan ini. Apa kamu akan berkencan dengan Amasaki?"

"Tidak, tidak, dia bilang tidak mungkin mengambil cuti di hari kerja."

Aku mengeluarkan sesuatu dari tasku dan menunjukkannya kepada Sujino-san.

"Ini, saya pergi dulu ya."

"Hmm, tiket? Apa ini, 'Acara Tanda Tangan Pensiunan Kotohane Mitsuru'...?"

Benar.

Penulis bertopeng, Kotohane Mitsuru, akhirnya akan memperlihatkan wajah aslinya besok.

Itu saja sudah merupakan masalah besar, tapi ternyata dia juga mengumumkan pengunduran dirinya. Aku sudah memutuskan untuk pergi, tidak peduli apa pun yang terjadi - bahkan jika aku masih memiliki pekerjaan.

Pada saat dia tidak ada rencana untuk menerbitkan karya baru, tiba-tiba ada pengumuman tentang acara tanda tangan perdana dan pernyataan pengunduran diri.

Selain itu, acara ini diadakan pada Kamis sore, dengan jumlah peserta dibatasi untuk 20 orang pertama yang mendaftar melalui situs web. Hanya orang-orang yang secara teratur memeriksa informasi terbaru dan dapat mengosongkan jadwal mereka di siang hari pada hari kerja yang dapat menghadiri acara ini.

Seolah-olah hanya penggemar sejati yang dipilih untuk pertama dan terakhir kalinya di atas panggung.

"Hee, ini memang ciri khas Sano. Bersenang-senanglah!"

Mungkin sedikit berbeda dari 'bersenang-senang'.

Ketika email yang mengonfirmasi reservasi itu tiba, aku langsung gemetar.

Satu minggu sebelum tiket tiba, aku akhirnya tidak bisa menahan ketegangan.

Alasanku menggunakan karya Kotohane Mitsuru sebagai bahan ajar juga merupakan cara untuk mempersiapkan diri menghadapi acara tanda tangan. Aku tidak bisa diam saja dan harus melakukan sesuatu.

Pada suatu hari saat aku masih menjadi mahasiswa, aku tidak sengaja menemukan kumpulan cerpen perdana karya Kotohane Mitsuru berjudul 'Tengai Kodoku'.

Tulisan di sampul yang tercetak dengan jelas di dalam benakku, "Remaja jenius memulai debutnya."

Tanpa sadar aku telah begadang membacanya. Keesokan harinya, aku absen dari kuliah.

Bakat yang membuatku menyerah pada impianku menjadi seorang novelis ketika aku masuk jurusan sastra.

Matahari yang terlalu terang dan menyilaukan telah membakar retinaku.

Sebenarnya, aku penasaran bagaimana rupa dan suaranya. 

Aku pikir besok adalah kesempatan pertama dan terakhirku untuk mengubah impianku menjadi kenangan.

Menjadi seorang novelis, sepertinya memang terlalu sulit bagiku. Besok pasti aku akan berpikir begitu dari lubuk hatiku yang terdalam.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter


Post a Comment

Post a Comment