NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

[LN] Higehiro : Airi Gotou - Volume 2 - Chapter 3 [IND]

 



Translator : Yanz

Editor : Konotede


Chapter 3 : Pemindahan 


“Airi, maaf. Apakah kamu bisa pindah ke cabang Sendai sekitar dua minggu?”

Aku dipanggil oleh Shido Tsukasa, seorang teman sejak masa kuliah dan ketua perusahaan. Sebelum jam kerja dimulai, panggilan semacam ini bukanlah hal yang aneh bagiku, jadi tanpa persiapan khusus, aku pergi ke ruangan ketua.

“Eh, Sendai?”

Aku sekarang merasa sangat bingung.

 “Yap. Yang pertama, ini bukanlah sebuah pemindahan yang merugikanmu. Ada proyek baru di cabang Sendai dan aku ingin kamu menjadi pengawasnya,” kata Tsukasa dengan nada tenang seperti biasanya, tetapi pikiranku masih belum bisa memahami arti kata-kata tersebut.

Pemindahan? Kenapa harus aku? Kenapa harus sekarang?

Aku bisa membayangkan bahwa pasti ada alasan kenapa Tsukasa meminta kepadaku, tetapi sulit bagiku untuk segera menerima kenyataan.

“Jika proyek berjalan lancar dan kita sudah melatih ketua berikutnya, aku ingin kamu kembali kesini.”

“Kenapa harus aku yang pindah?”

“Tidak ada eksekutif lain yang memiliki waktu luang selain kamu.”

“Sekarang pun, aku memiliki beberapa proyek yang aku urus....”

Meskipun aku mencoba untuk menentangnya, Tsukasa hanya mengangguk dengan tegas.

“Aku mengerti dengan perasaanmu. Tapi santai saja, para eksekutif di Tokyo akan mengambil alih kerjaanmu dengan baik.”

Aku hanya bisa terdiam di hadapan jawaban yang tampaknya sudah diatur ini.

Aku biasanya selalu mengatakan “Baiklah” terhadap permintaan Tsukasa terkait pekerjaan. Aku telah menetapkan pekerjaan sebagai prioritas utama dan tidak pernah melibatkan kehidupan pribadiku.

Namun, untuk menolak permintaan ini hanya dengan alasan “Aku nggak mau berpisah sama Yoshida-kun” itu tidak mungkin.

“Baiklah, dua minggu,kan?”

“Aku sungguh minta maaf”

Tsukasa merendahkan kepala dengan tenang sebelum akhirnya tersenyum.

“Yah, aku lega banget kalau kamu mau menerimanya.”

Itu mungkin adalah kata-kata hiburan, tetapi aku tidak tahu bagaimana cara meresponsnya. Aku hanya tersenyum tipis dan memberi hormat saat meninggalkan ruangan ketua.

Saat pintu terbuka, aku merasa sesuatu yang sangat sakit di dadaku.

Kenapa hidupku selalu seperti ini?

Aku telah memutuskan untuk sepenuh hati mencurahkan semua perhatianku kepada Yoshida-kun. Dan sekarang, ketika terjadi sesuatu seperti ini—ini adalah salahku sendiri, tapi aku sudah memiliki banyak hal untuk dipikirkan ketika Sayu-chan kembali ke Tokyo. Dan sekarang juga, sebuah berita tentang pemindahan yang harus kuterima tanpa pilihan untuk menolak telah datang.

Meninggalkan Yoshida-kun dan Sayu-chan di Tokyo sementara aku pergi ke suatu tempat adalah sesuatu yang sangat tidak adil.

Mungkin benar kalau cintaku tidak akan pernah berbuah. Apakah aku lahir di bawah bintang yang seperti itu?

Namun, aku menepuk pelan diriku sendiri dan menggelengkan kepala.

Yang terpenting, aku harus berhenti berpikir seperti ini.

Apa yang sudah terjadi tidak bisa diubah. Jika aku hanya mengundurkan diri sebagai korban seperti biasanya, aku akan mengkhianati Yoshida-kun yang berkata untuk menunggu dan juga aku akan menghianati tekadku sendiri.

Berjuanglah, Gotou Airi.

Meski begitu, aku masih tidak tahu harus berjuang dalam hal apa dan bagaimana cara melakukannya?

Sementara aku akan pergi, Sayu-chan sedang berada di tokyo.

Aku masih mengingat hari yang cerah ketika Sayu-chan datang melihatku.

“Gimana denganmu?”

Aku berjalan bersama Sayu-chan di depan apartemen dan melakukan perjalanan santai ke sekitar apartemen.

“Yah, tidak ada perubahan yang terjadi kok.” 

Aku menjawab seperti itu, dan Sayu-chan tersenyum polos sambil mengatakan, “Yah, itu bagus.”

Sayu-chan mengenakan gaun putih tipis dengan kardigan cokelat. Meskipun berpakaian dengan sangat cantik, dia tetap memiliki aura dewasa yang melekat padanya sejak dulu.

Dengan riasan yang terlihat alami tetapi lebih rapi dibandingkan pertemuan sebelumnya, dia telah menjadi lebih “Cantik”. Aku tidak bisa tidak tersenyum melihatnya. Dia terlihat begitu sempurna.

“Bagaimana denganmu, Sayu-chan? Bagaimana kehidupan kuliahmu?”

Saat aku bertanya, Sayu-chan tersenyum dengan canggung tetapi menjawab dengan tegas.

“Haha. Yah, ada berbagai hal, tapi aku baik-baik saja. Ketika kita mencobanya, semuanya akan baik-baik saja, kan?”

Pandangan sampingnya saat dia mengatakan ini, meskipun dia tersenyum canggung, dia terlihat kuat di mataku. Aku yakin perkembangan gadis ini masih akan terus berlanjut.

“Aku pernah melarikan diri dari kehidupan SMA sekali , tapi setelah melarikan diri sejauh itu sekali, aku tidak ingin melarikan diri lagi.”

“Begitukah? Kamu tumbuh menjadi lebih kuat, ya?”

“Bukan begitu...” katanya sambil menggelengkan kepala. Ini mungkin adalah tanda bantahan yang jujur, tetapi aku tahu bahwa Sayu-chan tidak ingin terlalu sombong.

"Aku percaya kalau kamu sudah tumbuh lebih dewasa dari aku."

“Eh? Enggak, Nggak ada yang begituan!”

“Hehe, kamu menilaiku terlalu tinggi.”

Sayu-chan tampak sedang panik, itu bukan karena merasa rendah diri, tetapi aku tahu dia tidak benar-benar merasa bahwa aku lebih dewasa darinya.

“Baiklah, mau masuk ke kafe?”

Ketika aku bertanya, Sayu-chan melihatku dengan mata berkaca-kaca.

“Boleh sih, apakah kamu tidak ada rencana habis ini?”

“Tidak, aku hanya berencana pergi berbelanja sendirian. Lebih dari itu, aku mau ngobrol dengan Sayu-chan yang sekarang. Apakah itu tidak apa-apa?”

“Jika itu yang kamu mau, boleh!”

Sayu-chan mengangguk dengan semangat, dan aku tersenyum pada kepolosannya. Meskipun aku menyadari bahwa dia adalah pesaing cintaku, aku merasa terlalu nyaman dengannya, mungkin karena kepribadiannya yang ramah.


Setelah berjalan sejenak, kami tiba di sebuah kafe yang kadang-kadang aku kunjungi saat aku merasa ingin berjalan sendirian pada hari libur. Ini adalah tempat yang dijalankan oleh seorang pria tua yang menjalani hobinya, sehingga meskipun hari libur, tempatnya tidak terlalu ramai, seperti yang kuperkirakan.

Hanya satu meja yang terisi, jadi kami bisa berbicara dengan tenang.

“Mau pesan apa?”

Meskipun pelayan tidak seperti yang kamu temui di rantai kafe, suaranya sangat hangat, dan seorang pria tua dengan postur yang tegap mendekati kami untuk mengambil pesanan.

Aku memesan kopi latte, sementara Sayu-chan memilih kopi es.

Ketika pelayan pergi ke belakang, kami berbicara.

"Seleramu sekarang menjadi dewasa, ya?"

Aku berbicara sambil menggoda, dan Sayu-chan tertawa dengan malu-malu.

“Hehe, itu...” dia menjawab dengan ragu.

“Apa kamu punya teman saat di SMA?”

“Ada, meskipun nggak banyak.”

“Menurutku, satu teman saja sudah cukup.”

“...Iya, aku merasa begitu juga.”

“Kamu masuk universitas?”

“Ya, entah bagaimana!”

“Bagus. Kamu sudah bekerja keras. Kamu belajar pelajaran dua tahun dalam satu tahun, kan?”

“Iya, itu adalah konsekuensi dari tindakanku sendiri sih.”

Sayu-chan terus merendahkan diri meskipun dia menceritakan perkembangannya dengan rendah hati. Meskipun dia telah kembali ke sekolah setelah absen satu tahun dan akhirnya berhasil masuk universitas, kupikir dia boleh merasa bangga dengan pencapaiannya.

Ketika kami berbicara tentang masa SMA nya, aku melihat ekspresi Sayu-chan sedikit berubah. Aku juga dengan diam-diam bersiap-siap dalam hatiku.

Terlihat sekali Sayu-chan tampak lebih tertarik pada minumanku, dan kemudian dia merasakan sesuatu yang membuat mata kirinya sedikit berkedip. Aku pura-pura tidak melihatnya. Sementara dia terus mengamati dengan hati-hati, aku menunggu dengan tenang.

Setelah menyesap kofi late yang hangat, aku menambahkan sedikit gula hanya untuk pamer dan menunjukkannya kepadanya. Saat aku melirik ke arah Sayu-chan, dia sedang menatap tajam ke arahku sambil mengaduk isi cangkir. Kemudian, Sayu-chan memperhatikan tatapanku, menggerakkan matanya seperti binatang kecil, lalu menyesap es kopi lagi. Kali ini, aku tidak melihat perubahan apa pun pada ekspresinya, mungkin karena dia gugup.

Saat aku menikmati mengamati Sayu-chan, aku melihat sedikit perubahan pada ekspresinya. Aku juga diam-diam mempersiapkan diri.


“Gotou-san!”

“Ya?”

“Bagaimana hubunganmu dengan Yoshida-san setelah itu?”

Dengan pertanyaan yang sudah kuduga, aku menyipitkan mata sambil berpikir, “Akhirnya, pertanyaan itu datang juga.”

Aku perlahan-lahan mengambil napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Aku sudah mengungkapkan perasaanku kepadanya.”

Itu adalah fakta. Aku telah menyatakan perasaanku, tapi hanya itu.

Setelah mendengar jawabanku, ekspresi Sayu-chan tiba-tiba menjadi suram. Aku tahu dia mungkin merenungkan hal-hal lebih jauh daripada apa yang sebenarnya terjadi saat ini. Dan itu wajar. Jika aku berada dalam posisi Sayu-chan, aku mungkin juga akan memikirkan hal yang sama.

“Jadi...,” Sayu-chan berhent saat berbicara, tetapi kelanjutannya mudah ditebak. Aku buru-buru menggelengkan kepala sebelum dia membuka mulut lagi.

“Kami belum resmi berpacaran.”

“Huh?”

Sayu-chan tiba-tiba terkejut, dengan ekspresi yang menunjukkan kekaguman yang murni, tanpa jejak kebahagiaan. Aku tahu, itulah cara dia. Itu adalah yang dia pikirkan.

Aku mengaduk-aduk segelas kopi latte tanpa alasan yang jelas, kemudian aku memberitahuSayu-chan. “Aku sudah tahu kalau kamu akan kembali kesini.”

Setelah mengatakan itu, Sayu-chan tampak bingung sejenak, tetapi kemudian dia tampak menyadari sesuatu dan menghela nafas dengan keras. Setelah itu, dia membuka dan menutup bibirnya beberapa kali.

“Berarti...” setelah dia akhirnya memilih kata-kata dengan hati-hati, Sayu-chan berkata, “Apakah itu berarti kamu menghormati perasaanku?”

Tentu saja, dia tampak sangat serius. Bahkan dia tampak seperti sedang marah. Aku mulai mengingat bahwa dia adalah tipe yang seperti itu.

“Aku bukan bermaksud untuk menghormati mu.” 

Aku membantahnya dengan tegas. Aku tahu baik aku maupun dia tidak akan bisa melanjutkan jika aku tidak melakukannya.

“Aku tahu ini akan memakan waktu, tapi apakah aku bisa menceritakan semuanya tentang apa yang terjadi setelah kamu pergi dari Tokyo?”

Ketika aku mengatakan itu, Sayu-chan ragu-ragu, tetapi akhirnya dia mengangguk dengan serius.

Aku menceritakan bagaimana hubunganku dengan Yoshida-kun semakin dekat setelah dia pergi dari Tokyo. Bagaimana dorongan dari Kanda-san dan Mishima-san sangat membantuku melakukan perjalanan bersama Yoshida-kun. Dan juga, bagaimana aku akhirnya mengkhianati harapannya.

Semua itu kuceritakan dengan urutan yang tepat.

“Sayu-chan, aku hanya ingin Yoshida-kun memilihku saja.”

Setelah aku mengakhiri cerita, Sayu-chan mendengarkan dengan serius tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

“Aku hanya ingin dia memilihku.”

Setelah mendengar kata-kata tadi, Sayu-chan perlahan-lahan melepaskan nafas. Kemudian, dia mulai memilih kata-kata dengan hati-hati, matanya bergerak ke sana kemari seperti mencari jawaban.

“Gotou-san...apa menurutmu ada kemungkinan Yoshida-san akan menganggapku romantis?”

Entah kenapa, aku merasakan keringat yang tidak enak muncul di punggungku saat aku mendengar kata-kata itu dan mata itu menatap lurus ke arahku.

“Ya, tidak peduli apa yang terjadi, menurutku tidak ada keraguan bahwa kamu adalah orang yang spesial bagi Yoshida-kun. Dan sekarang kamu sudah lebih dewasa dari sebelumnya, tidak heran jika itu berubah menjadi cinta. Itulah yang kupikirkan.”

Mendengarku mengatakan itu untuk menyembunyikan emosiku, Sayu-chan berkata dengan suara rendah, ``Begitu, ya?’’ Lalu, dia berkata dengan suara agak datar.

“Dari sudut pandangku...kurasa itu tidak mungkin.”

“Eh?”

Tiba-tiba aku menjerit panik mendengar kata-kata yang tidak terduga itu.

“Yoshida-san, dia hanya melihat Gotou-san. Aku mengerti itu karena kami sudah bersama selama lebih dari setengah tahun.”

"Yang seperti itu...”

Aku mencoba mengatakan kalau bukan seperti itu, tapi saat aku menatap mata Sayu, aku kehilangan kata-kata.

Aku tahu dia tidak mengatakan itu untuk menenangkan pikirannya.

“Tentu saja, Yoshida-san merawatku dengan baik. Aku juga menyukainya. Tapi menurutku ‘merawat’ itu berbeda dengan memperlakukan sebagai ‘pacar.”

“Itu kan dulu.”

“Itu benar, tentang hari-hari itu. Tapi aku menghilang lagi dari kehidupan Yoshida-san, dan Gotou-san bersamanya selama waktu itu.”

Muncul rasa dingin di area perutku.

Dia mungkin tidak bermaksud seperti itu, tapi aku merasa dia seperti menuduhku , ``Apa yang sudah kamu lakukan selama lebih dari setahun?’’ Dan ketika seorang gadis yang lebih muda membuatku merasa seperti itu, aku menyadari bahwa aku masih muda secara mental.

“Gotou-san, kamu baik banget, yah?”

“...Eh?”

“Gotou-san, mungkin kamu tidak bermaksud begitu. Seperti yang kamu katakan tadi, kamu mungkin takut kepada hubungan antara aku dan Yoshida-san, dan kamu mungkin benar-benar memikirkan hal itu. Tapi...”

Ketika Sayu-chan berbicara, matanya tidak pernah beranjak dariku. Matanya menatapku seperti menyusup masuk ke dalam hatiku.

“Selain itu, kupikir mungkin ada sedikit keragu-raguan terhadapku. Mungkin kamu tidak ingin aku terlihat seperti mengambil Yoshida-san darimu. Mungkin kamu takut untuk mencuri hati dia sebelum aku melakukannya.”

“Tidak, aku tidak....”

“Aku tahu kamu tidak bermaksud begitu kok.” kata Sayu-chan.

“Aku hanya ingin bilang kalau aku tidak ingin mengganggu kehidupan orang lain. Aku hanya ingin menjalani hidupku, yang telah aku usahakan dengan bantuan banyak orang. Itu sebabnya aku kembali ke Tokyo.”

Aku pikir Sayu-chan mungkin kembali ke Tokyo hanya untuk bertemu Yoshida-kun. Atau setidaknya, itu yang kupikirkan. Aku masih merasa itu benar, tetapi...

“Aku...” aku mendesah kecil. “Aku tidak tahu bagaimana mengatakan ini dengan benar...”

Saat aku mengatakan ini, Sayu-chan mengangkat bahu dengan serius.

“Apa yang ingin kamu katakan?”

“Aku, aku minta maaf.” Aku menjawab dengan jujur. Yang bisa kulakukan saat ini hanyalah berbicara dengan jujur.

“Gotou-san, kamu itu memiliki sifat baik. Tapi...”

Sayu-chan menekan bibirnya dan berkata, “Tolong, sudah cukup.”

Aku menelan kata-kata itu. Aku tidak bisa merespon dengan kata-kata apa pun.

“Aku tidak ingin menghalangi hidup orang lain. Aku hanya ingin menjalani hidupku setelah berjuang begitu keras untuk memperbaikinya. Itulah sebabnya aku kembali ke Tokyo.”

Aku berpikir Sayu-chan kembali ke Tokyo hanya untuk bertemu Yoshida-kun, tapi sekarang aku tahu itu hanya sebagian kecil dari tujuannya. Dia sudah memiliki pemahaman diri yang kuat dan berkomitmen untuk menjalani hidupnya dengan penuh tanggung jawab.


“Uughhh...”

“Ada apa?” tanya Sayu-chan ketika aku menghela nafas kecil.

“Aku hanya berpikir kalau kamu sudah dewasa. Sedangkan aku...”

“Aku ingin kamu berhenti sampai situ saja.” kata Sayu-chan dengan keras.

Aku tidak bisa menjawab. Aku merasa semakin tidak suka kepada diriku sendiri. Sayu-chan sudah mengungkapkan kelemahanku, dan aku merasa bersalah. Dalam situasi seperti ini, aku merasa diriku masih kurang matang emosionalnya.

“Tapi... Aku sungguh percaya kalau Yoshida-kun mungkin akan memilihmu.”

“Eh...”

“Setidaknya itu adalah perasaan jujur ku.”

Sayu-chan terlihat sangat bingung saat aku mengatakan itu, matanya terlihat bergerak-gerak.

“Kamu adalah orang yang menarik, dewasa, dan sangat cantik. Dan kupikir kamu memiliki kemampuan komunikasi yang unik untuk mendekati siapa pun.”

“Jangan bilang gitu, ah.”

Sayu-chan terkejut dan malu.

“Ada kemungkinan besar bahwa kamu akan menangkis hati seseorang dengan pesona mu. Sejujurnya, aku mengharapkanmu kembali ke Tokyo dengan keyakinan untuk bersaing denganku.”

Sayu-chan menarik napas dalam-dalam, suara napasnya terdengar jelas.

“Aku sudah pura-pura dewasa. Dan sekarang kamu mengajarinya kepadaku. Jadi, tolong hentikan.”

Setelah aku mengatakan itu, Sayu-chan tampak terguncang, matanya bergerak liar sejenak, dan dia menyentuh rambut sampingnya dengan jari.

“Kamu...”

Aku menghela napas kecil dan mengakui kelemahanku.

“Sayu-chan, aku minta maaf. Sekarang, aku akan berhenti berpura-pura.”

Ketika aku mengatakannya, Sayu-chan mengangguk dengan tulus.

Setelah itu, Sayu-chan tertawa dengan wajah yang sedikit kesulitan.

“Ah, bagaimana ya...”

Dengan tatapan yang polos dan penuh selipan, Sayu-chan melihat ke arahku.

“Akhirnya, kamu bisa melihatku seperti itu juga, kan?”

“Nampaknya, aku benar-benar sudah terbaca ya? Sepertinya kita saling memahami dengan cara yang berbeda.”

“Manusia itu memang rumit, ya.”

“Iya.”

Aku merasakan udara yang tegang perlahan-lahan melonggar.

“Apakah aku boleh nambahin sedikit susu dan gula di kopi ini?”

Saat aku menunjuk gelas kopi es yang diletakkan di depan Sayu-chan, dia tersenyum malu-malu.

“Apakah itu juga terbaca...?”

Sayu-chan memerah dan dengan malu-malu menambahkan susu dan gula ke dalam gelasnya. Melihatnya mencoba minum kopi hitam saat ada orang dewasa di sebelahnya, itu terlihat sangat lucu dibandingkan dengan perilakunya yang dewasa biasanya. Aku pun tertawa karena tidak bisa menahan diri.

Sayu-chan kemudian menyedot sedikit kopi es melalui sedotan dan tampaknya dia merasa lebih nyaman sekarang.

“Ah, aku sekarang tiba-tiba merasa nyaman.”

Aku juga meminum sedikit tegukan kecil dari kopi latte ku dan merasa sedikit lebih tenang. Terasa seperti perasaan hangat mengalir melalui tenggorokanku dan itu sangat menenangkan hati.


“Benar, aku sebenarnya tidak perlu berpura-pura.” kata Sayu-chan dengan suara yang gemetar.

Saat itu, mata Sayu-chan tertuju ke arahku.

“Seperti yang Sayu-chan katakan, aku mungkin merasa memiliki tanggung jawab yang tidak sadar kepadamu.”

Ketika aku mengatakan itu, aku menggigit bibir bawahku. Ini membuatku merasa kesal dan lemah, karena aku masih merasa takut meskipun sudah sejauh ini.

“Jadi, untuk kedepannya aku mau berusaha untuk tidak membawa perasaan itu.”

Aku mengucapkan kata-kata tersebut dengan suara yang gemetar, dan Sayu-chan menghirup nafas panjang.

“Terima kasih atas kata-kata itu. Ini memberiku rasa lega,” kata Sayu-chan, tersenyum lebar dengan sengaja.

“Sekarang aku bisa membuktikan cintaku dengan sepenuh hati.”

“Ahaha, aku akan mendukungmu.”

“Meskipun kamu memberi dukungan, kamu tidak boleh kalah, ya?”

“Aku mendukungmu kok, tapi aku tidak akan kalah.”

“Ahaha, aku juga tidak berharap bisa menang.”

Meskipun Sayu-chan mengatakan itu seperti candaan, mata dia turun ke kanan bawah sejenak. Wajahnya terlihat ceria, tetapi ada sesuatu yang rapuh dalam cahaya mata dia.

Oh, itu benar-benar apa adanya, hanya itu. Sayu-chan benar-benar hanya sedang menjalani cintanya sebagaimana adanya. Dia tidak akan menyerah pada cinta, tetapi dia juga tidak berharap untuk berhasil.

Aku menyadari bahwa dia benar-benar tidak berpikir demikian. Dia mungkin ingin melihatku sebagai ancaman serius, tetapi pada akhirnya, dia adalah orang yang paling tulus dalam hal ini.

Dia tidak akan menyerah pada cinta, tetapi dia juga tidak mengejar dengan sepenuh hati. Aku merasa ini sangat berlawanan dengan situasiku sendiri. Namun, saat aku merenungkan hal itu, aku menyadari bahwa tindakan dan tekad Sayu-chan sebenarnya menginspirasiku.

Aku selalu diinstruksikan oleh orang lain, tetapi aku sering kali merasa puas dengan sedikit perubahan. Aku lebih mudah terganggu oleh diriku sendiri daripada Sayu-chan yang lebih teguh.

Karena itulah, aku merasa penting untuk benar-benar mencoba, bahkan jika itu tampak gila. Mungkin hanya dengan begitu, aku bisa mendapatkan perubahan yang nyata.

Aku ingin mendukung cinta Sayu-chan yang realistis ini. Namun, aku juga ingin dapat membantu perasaan cintaku sendiri seiring waktu.

Kami terus berbicara tentang berbagai hal yang tidak ada hubungannya dengan Yoshida-kun hingga akhirnya sore tiba. Saat kami berpisah, aku merasa aku telah menemukan tekad untuk menghadapi perasaan cintaku.

Beberapa hari setelah aku memutuskan dengan tekad baru, aku tidak pernah berpikir bahwa hal seperti ini akan terjadi. Setelah meninggalkan ruang kerja ketua, langkahku tanpa pikir panjang menuju kamar toilet, di mana aku berdiri di depan cermin dan memandang wajahku sendiri.

Aku merasakan kepanikan dan kebingungan yang muncul dan hilang begitu saja. Aku tanpa sadar menggigit bibir bawahku, dan saat menyadari hal itu, aku perlahan-lahan menghembuskan nafas dan memperbaiki lipstik ku.

Tidak ada gunanya terus menatap cermin, jadi mau tidak mau aku kembali ke mejaku dan mulai bersiap-siap untuk bekerja, meskipun masih sedikit orang yang datang ke kantor pada saat itu.

Memasuki rutinitas untuk memulai pekerjaan membuatku merasa sedikit lebih tenang. Tetapi pikiran negatif seperti “Apakah benar kalau aku akan dipindahkan?”, “Bagaimana caraku berbicara dengan Yoshida-kun?”, atau “Apakah mungkin untuk menjalani hubungan jarak jauh pada usia seperti ini?” masih muncul seperti gangguan teratur.

“Selamat pagi.”

Saat Yoshida-kun memberi salam, suaranya terdengar di dalam kantor, dan reflek aku memaksakan mata ku untuk melihat ke arahnya. Reflek ternyata bisa menjadi sesuatu yang menakutkan.

Pandangannya juga menuju ke arahku, dan mata kami bertemu sejenak. Pada saat itu, jantungku berdegup dengan keras, dan aku buru-buru mengalihkan pandanganku.

Yoshida-kun tampaknya melihat ke arahku untuk beberapa saat, tetapi kemudian dia berjalan menuju meja kerjanya sendiri.

Setelah itu, aku diam-diam mengamatinya dari belakang, dan akhirnya aku bisa melepaskan napas panjang. Aku tahu betul bahwa dengan caraku menolak pandangannya tadi, itu akan membuatnya khawatir lagi. Tetapi, kali ini aku tidak bisa mengendalikan diriku.

Bagaimana seharusnya aku mengungkapkan perasaanku dan berbicara dengan dia? Itu harus dilakukan malam ini. Aku tidak boleh menunda seperti biasanya.

Namun, aku merasa sulit untuk berinteraksi dengan Yoshida-kun dengan baik selama jam kerja. Aku merasa tidak bisa melakukannya. Karena itu, aku terus berusaha menghindarinya sepanjang hari kerja.

Post a Comment

Post a Comment